Kamis, 13 Maret 2014

SALARY vs FEE FOR SERVICE vs KAPITASI
Rasionalitas Insentif Profesi Dokter sebagai Pemberi Layanan Kesehatan dan Perspektif Pasien sebagai Masyarakat dalam Era Kebijakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

Hening Tirta Kusumawardani
Program Studi Epidemiologi Klinik Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat

Abstrak

Latar Belakang : Biaya berobat telah menjadi penghalang (financial barrier) akses ke layanan kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan (financial catastrophy) dan 100 juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002). World Health Assembly mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga negara, untuk tindakan preventif yang efisien dan tepat, promotif, kuratif dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau (affordable cost). Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah Indonesia juga bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial. Sebagai “bintang ekonomi” perilaku dokter mengikuti metode pembayaran sehingga kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak negatif bagi pasien dan masyarakat.

Metode : Penelitian cross sectional dengan analisis deskriptif menggunakan data Riskesdas 2013. Sampling Riskesdas 2013 dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara bertahap, mulai dari pemilihan primary sampling unit (PSU) sampai dengan tahap pemilihan rumah tangga (RT). Lokasi RT sampel terpilih tersebar di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS yang ditargetkan (99,9%). Rumah tangga terpilih diperoleh berdasarkan 300.000 bangunan sensus (bangsen), 99,4% diantaranya terdiri dari 1 kepala keluarga (KK), selebihnya terdiri dari 2 KK atau lebih. Riskesdas 2013 berhasil mendata 294.959 RT, 98,3% dari yang ditargetkan, mencakup 1.027.763 anggota rumah tangga (ART), 93% dari yang ditargetkan. Parameter jaminan dan pembiayaan kesehatan berdasarkan karakteristik penduduk seperti kelompok umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status dan jenis pekerjaan, tempat tinggal, serta kuintil indeks kepemilikan.

Hasil : Dari data Riskesdas 2013 di atas didapatkan proporsi penduduk yang memiliki jaminan kesehatan askes sosial adalah sebesar 6% dengan tingkat utilisasi sebesar 71,9%.  Masyarakat yang yang memiliki jaminan kesehatan jamsostek adalah sebesar 4,4% dengan tingkat utilisasi sebesar 62,5%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan askes swasta adalah sebesar 1,7% dengan tingkat utilisasi sebesar 63,1%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan tunjangan perusahaan adalah sebesar 1,7% dengan tingkat utilisasi sebesar 72,4%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan jamkesmas adalah sebesar 28,9% dengan tingkat utilisasi sebesar 50,9%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan jamkesda adalah sebesar 9,6% dengan tingkat utilisasi sebesar 54,1%. Dan masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan sebesar 50,5% dengan tingkat utilisasi sebesar 0%.

Kesimpulan : Dengan tingginya proporsi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki jaminan kesehatan bisa dipastikan pembiayaan kesehatan paling banyak dilakukan dengan metode pembayaran out of pocket yang pastinya bisa menimbulkan moral hazard dan terkadang missused ataupun overused. Metode membayar dokter selama ini hanya dipandang sebagai transaksi sederhana, yaitu memberi imbalan pada dokter atas kerjanya mengobati pasien. Dengan metode Sandwich, transaksi sederhana tersebut berubah menjadi instrumen yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong penyebaran dan pemerataan dokter, dan memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, sekaligus mengurangi kesenjangan pendapatan antar dokter.

Kata Kunci : Universal Health Coverage, Jaminan Kesehatan Nasional, Riskesdas, Jaminan Kesehatan




PENDAHULUAN

Pelayanan kesehatan telah menjadi komoditas, dalam arti hanya mereka yang memiliki uang yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Komoditas pun bukan komoditas biasa, tapi juga komoditas yang mahal dan harganya meningkat dari tahun ke tahun, sehingga membebani masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang tidak mempunyai asuransi kesehatan. Biaya berobat telah menjadi penghalang (financial barrier) akses ke layanan kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan (financial catastrophy) dan 100 juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002).
Pelayanan kesehatan juga rentan terjadinya moral hazard. Dalam kondisi pelayanan kesehatan yang telah menjadi komoditas dan kentalnya konsumerisme, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam mencari pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, mengingat keterbatasan informasi yang dimilikinya (asimetry information). Seiring dengan itu masyarakat membayar secara out of pocket (OOP) dan fee for service (FFS) pada saat mereka membutuhkan pelayanan.
Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia. Di Indonesia pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/ duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah.
Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke 58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggarisbawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke 58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA menyarankan kepada WHO agar mendorong negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan menuju Universal Health Coverage. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan akses yang adil bagi semua warga negara, untuk tindakan preventif yang efisien dan tepat, promotif, kuratif dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau (affordable cost).
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Namun disayangkan, dari kedua ketentuan UU tersebut, peran daerah dalam upaya pencapaian universal health coverage di Indonesia tidak dimunculkan dengan baik. Hingga saat ini, sudah 32 juta penduduk di Indonesia yang sudah dicover oleh Jamkesda. Permasalahan yang dihadapi, sampai saat ini belum ada kejelasan tentang posisi Jamkesda sehingga menimbulkan kesimpangsiuran terhadap peran jamkesda dan yang harus disiapkan untuk berpartisipasi dalam universal health coverage
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Asuransi kesehatan mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri out of pocket, dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk itu diperlukan suatu jaminan dalam bentuk asuransi kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan secara orang per orang.
Tetapi asuransi kesehatan saja tidak cukup. Diperlukan Asuransi Kesehatan Sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mengapa?
Pertama, premi asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Kedua, manfaat yang ditawarkan umumnya terbatas. Sebaliknya, asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut. Pertama, memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Kedua, asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”.
Ketiga, asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan).
Keempat, asuransi kesehatan sosial memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan sosial/ JKN bersifat wajib.
Sehingga untuk merealisasikan hal itu, pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN merupakan tonggak sejarah dimulainya reformasi menyeluruh sistem jaminan sosial di Indonesia. Reformasi terhadap program jaminan sosial yang berlaku saat ini dianggap penting karena kita melihat banyak peraturan pelaksanaan yang parsial dan tumpang tindih, manfaat program yang minim dan jangkauan program yang sangat terbatas serta hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat.

Penerapan JKN menyebabkan perubahan fundamental pada berbagai aspek yang terkait dengan industri kesehatan di tanah air. Pelayanan kesehatan akan menjadi hak penduduk, bukan lagi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. Tapi penduduk pun wajib membayar iuran, menggunakan fasilitas kesehatan secara berjenjang, dan mengadopsi perilaku hidup sehat. Iuran penduduk miskin dan tidak mampu akan dibayari Pemerintah. Dengan demikian seluruh penduduk dimanapun ia berdomisili diharapkan akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.
Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial.  Sebagai “bintang ekonomi” perilaku dokter mengikuti metode pembayaran sehingga kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak negatif bagi pasien dan masyarakat.
Proporsi biaya untuk membayar dokter terhadap total biaya kesehatan relatif besar, misalnya di Canada biaya dokter tercatat 15% dari total biaya kesehatan di negara tersebut (Deber, 1998). Hal yang lebih bermakna adalah kinerja dan perilaku dokter terbukti memberi pengaruh besar terhadap total biaya kesehatan. Setiap tindakan dokter dapat diibaratkan dirigen yang menaikkan atau menurunkan nada biaya. Berbagai penelitian membuktikan bahwa perilaku dokter dalam menjalankan praktik kedokteran sangat dipengaruhi oleh metode membayar dokter.
Menurut WHO (1993) cit Hendrartini (2007) terdapat 7 metode pembayaran utama, sebagai berikut:
1.   Pembayaran berdasar pelayanan (fee for service). Pembayaran per item pelayanan, yaitu tindakan per diagnosis, terapi, pelayanan pengobatan dan tindakan identifikasi satu per satu, kemudian dijumlahkan dan ditagih rekeningnya.
2.   Pembayaran berdasar kasus (case payment). Pembayaran bagi paket pelayanan atau episode pelayanan. Pembayaran tidak didasarkan oleh item, kemudian dijumlahkan seperti pada nomor 1. Daftar pembayaran mungkin tidak berkaitan dengan biaya pelayanan sesungguhnya yang diberikan kepada pasien tertentu di suatu rumah sakit, seperti yang terjadi pada pembayaran berdasarkan “diagnosis related groups” (DRG).
3.   Pembayaran berdasarkan hari (daily charge). Pembayaran langsung dengan jumlah tetap per hari bagi pelayanan atau hospitalisasi.


4.   Pembayaran bonus atau flat rate (bonus payment). Pembayaran langsung sejumlah yang disepakati (biasanya global) bagi tipe pelayanan yang diberikan.
5.   Kapitasi. Pembayaran dengan jumlah yang ditetapkan berdasarkan jumlah orang yang menjadi tanggung jawab dokter (biasanya setiap tahun). Pasien dengan kategori yang berbeda, misalnya berumur lebih dari 75 tahun, mungkin dikenai angka kapitasi yang berbeda pula.
6.   Gaji (salary). Pendapatan per tahun yang tidak berdasarkan beban kerja atau biaya pelayanan yang diberikan.
7.   Anggaran global. Seluruh anggaran pelaksanaan ditetapkan di muka yang dirancang untuk menyediakan pengeluaran tertinggi, tetapi memungkinkan pemanfaatan dana secara fleksibel dalam batas waktu tertentu Secara umum besarnya potensi pendapatan dokter setahun merupakan perkalian antara produktivitas dokter dengan jasa medik. Jasa medik adalah imbalan yang diberikan kepada dokter untuk suatu jenis layanan medik (dalam metode pembayaran FFS). Besarnya jasa medik semestinya mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat membayar (ability and willingness to pay).
Dokter tidak bisa lagi menentukan tarifnya secara sepihak, tarifnya akan ditentukan oleh BPJS setelah bernegosiasi dengan asosiasinya. Metode pembayaran ke fasilitas kesehatan telah pula ditetapkan, yaitu secara INA-CBG dan kapitasi. Kedua metode ini memiliki filosofi yang sama, yaitu mentransfer risiko ke fasilitas kesehatan yang berarti dokter ikut menanggung risiko biaya bila  memberikan pelayanan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Metode membayar dokter tidak hanya dipandang sebagai transaksi sederhana memberi imbalan atas kerja dokter mengobati pasien. Metode membayar dapat digunakan untuk mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik kedokteran, mendorong persebaran dan pemerataan dokter, memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, dan mengurangi disparitas pendapatan antar dokter. Dengan kata lain, metode membayar dokter dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menata ulang sistem pelayanan yang saat ini berberorientasi spesialis menjadi berorientasi pelayanan primer.
Metode membayar dokter merupakan isu yang sangat menentukan, mengingat peranan dan fungsi profesi dokter yang sangat strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter bukan saja bertindak sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup bermakna, dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Untuk itulah tulisan ini membahas tentang metode pembayaran dokter yang paling baik dalam era JKN yang sudah diterapkan di Indonesia per tanggal 1 Januari 2014.

METODE

Penelitian cross sectional dengan analisis deskriptif menggunakan data Riskesdas 2013. Sampling Riskesdas 2013 dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara bertahap, mulai dari pemilihan primary sampling unit (PSU) sampai dengan tahap pemilihan rumah tangga (RT). Lokasi RT sampel terpilih tersebar di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS yang ditargetkan (99,9%). Rumah tangga terpilih diperoleh berdasarkan 300.000 bangunan sensus (bangsen), 99,4% diantaranya terdiri dari 1 kepala keluarga (KK), selebihnya terdiri dari 2 KK atau lebih. Riskesdas 2013 berhasil mendata 294.959 RT, 98,3% dari yang ditargetkan, mencakup 1.027.763 anggota rumah tangga (ART), 93% dari yang ditargetkan. Parameter jaminan dan pembiayaan kesehatan berdasarkan karakteristik penduduk seperti kelompok umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status dan jenis pekerjaan, tempat tinggal, serta kuintil indeks kepemilikan.

HASIL


Dari data Riskesdas tahun 2013 tersebut didapatkan proporsi masyarakat kelompok ekonomi terbawah memiliki jaminan askes sosial sebanyak 0%, jamsostek 0%, askes swasta 0%, tunjangan perusahaan 0%, jamkesmas 50%, jamkesda 10%, dan 40% tidak memiliki jaminan kesehatan. Untuk masyarakat kelompok ekonomi menengah bawah memiliki jaminan askes sosial sebanyak 1%, jamsostek 1%, askes swasta 0%, tunjangan perusahaan 0%, jamkesmas 45%, jamkesda 10%, dan 45% tidak memiliki jaminan kesehatan. Masyarakat kelompok ekonomi menengah memiliki jaminan askes sosial sebanyak 3%, jamsostek 3%, askes swasta 0%, tunjangan perusahaan 1%, jamkesmas 32%, jamkesda 8%, dan 53% tidak memiliki jaminan kesehatan. Masyarakat kelompok ekonomi menengah atas memiliki jaminan askes sosial sebanyak 7%, jamsostek %7, askes swasta 1%, tunjangan perusahaan 2%, jamkesmas 18%, jamkesda 10%, dan 55% tidak memiliki jaminan kesehatan. Masyarakat kelompok ekonomi teratas memiliki jaminan askes sosial sebanyak 18%, jamsostek 9%, askes swasta 6%, tunjangan perusahaan 2%, jamkesmas 9%, jamkesda 11%, dan 45% tidak memiliki jaminan kesehatan

           
Dari data Riskesdas 2013 di atas didapatkan proporsi penduduk yang memiliki jaminan kesehatan askes sosial adalah sebesar 6% dengan tingkat utilisasi sebesar 71,9%.  Masyarakat yang yang memiliki jaminan kesehatan jamsostek adalah sebesar 4,4% dengan tingkat utilisasi sebesar 62,5%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan askes swasta adalah sebesar 1,7% dengan tingkat utilisasi sebesar 63,1%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan tunjangan perusahaan adalah sebesar 1,7% dengan tingkat utilisasi sebesar 72,4%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan jamkesmas adalah sebesar 28,9% dengan tingkat utilisasi sebesar 50,9%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan jamkesda adalah sebesar 9,6% dengan tingkat utilisasi sebesar 54,1%. Dan masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan adalah sebesar 50,5% dengan tingkat utilisasi sebesar 0%.


Untuk pengobatan rawat jalan ataupun rawat inap, masyarakat Indonesia paling banyak menggunakan biaya sendiri, untuk rawat inap proporsi penduduk sebesar 53,5% dan untuk rawat inap sebesar 67,9%. Sedangkan proporsi kedua terbanyak menggunakan jamkesmas, untuk rawat inap proporsi penduduk sebesar 22% dan untuk rawat jalan sebesar 20%. Sedangkan yang lainnya berasal dari tunjangan perusahaan (untuk rawat inap 4% dan untuk rawat jalan 1,8%), asuransi swasta (untuk rawat inap 1,8% dan untuk rawat jalan 0,7%), jamsostek (untuk rawat inap 3,5% dan untuk rawat jalan 2%), asuransi sosial (untuk rawat inap 5,4% dan untuk rawat jalan 3,2%), lainnya (untuk rawat inap 4,8% dan untuk rawat jalan 1,8%), dan ada juga yang berasal lebih dari satu sumber (untuk rawat inap 4,9% dan untuk rawat jalan 1,1%)


Berdasarkan data di atas dapat dinyatakan bahwa di Indonesia proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebesar 25% dengan taksiran biaya yang dikeluarkan dalam 1 bulan terakhir rata-rata Rp 7.000,00. Beberapa Propinsi berada di atas proporsi masyarakat Indonesia yang mengobati sendiri, diantaranya yaitu Propinsi yang memiliki proporsi tertinggi yaitu sebanyak 40% namun dengan taksiran biaya terendah yaitu rata-rata sebesar Rp 2.500,00. Lain halnya dengan Propinsi Papua yang memiliki proporsi terendah yaitu hanya 10% dengan taksiran biaya tertinggi yaitu rata-rata sebesar Rp 20.000,00. Selain Propinsi Papua, Propinsi NTT juga menduduki peringkat yang cukup tinggi menyamai Propinsi Papua untuk taksiran biaya sendiri yang harus dikeluarkan yaitu sebesar Rp 20.000,00. Sedangkan kota-kota besar seperti Jateng, DIY, Jabar DKI, Riau memiliki taksiran biaya yang dikeluarkan sama dengan rata-rata biaya Indonesia.

PEMBAHASAN

Pada dasarnya pendapatan dan jasa medik merupakan wujud dari tingkat penghargaan masyarakat pada profesi dokter dan bagaimana dokter sendiri menghargai profesinya. Idealnya jasa medik ini dapat memenuhi harapan kedua belah pihak. Pihak pasien/pembayar merasa puas dengan tarif layanan dan mutu layanan yang diterimanya, dan pihak pemberi layanan (dokter) merasa puas dengan penghargaan yang pantas untuk kerja profesionalnya. Dasar pemikiran ini yang dijadikan landasan untuk menjelaskan pasal 50 dan 53 Undang- undang Praktik Kedokteran tentang hak/ kewajiban dokter dan pasien melalui gambar berikut ini.

Dengan melihat hubungan antara kerja dokter, waktu, produktivitas, kompensasi dan jasa medik, dapat dipahami bila produktivitas dokter merupakan bagian yang tak terpisahkan (integral) dari kompensasi, dan kompensasi dokter dirumuskan menjadi formula generik sebagai berikut. (Griffith, 2001)

Perspektif Dokter
Menarik untuk mengetahui perspektif dokter tentang bagaimana seharusnya dokter dibayar dan apa alasannya. Berikut ini berbagai pandangan para dokter tentang kompensasi yang dihimpun dari berbagai sumber:
1.   Dokter dibayar sepadan dengan pola pendidikannya yang lebih lama dari profesi lain, dan sepadan dengan kewajiban belajar sepanjang hayat untuk memelihara dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Kewajiban ini tidak ada pada profesi lain.
2.   Dokter dibayar lebih tinggi karena jam kerja dokter umumnya lebih tinggi daripada jam kerja profesi lain.
3.   Dokter yang menghasilkan pelayanan bermutu tinggi dibayar lebih banyak dibandingkan dokter yang menghasilkan layanan berkualitas rendah.
4.   Dokter yang menghasilkan kuantitas layanan banyak dibayar lebih banyak dibandingkan dokter yang menghasilkan pelayanan sedikit.
5.   Pelayanan berupa prosedur atau tindakan medis bukan satu-satunya faktor penentu bahwa dokter dibayar lebih dari dokter lainnya.
6.   Cara pembayaran profesi dokter tidak mengurangi otonomi profesi dokter dan tidak membatasi kebebasan profesi dokter dalam memilih dan memberi layanan medik yang dibutuhkan pasiennya.
7.   Kompensasi yang diberikan pada profesi dokter bukan berdasarkan status kepegawaian, kepangkatan atau institusi tempat dokter bekerja.

Perspektif Kebijakan Publik
1.   Pembayaran dokter hendaknya tidak menjadi hambatan bagi individu pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
2.   Jasa profesi dokter mempertimbangkan kemampuan masyarakat (ability to pay) dan kemauan masyarakat (willingness to pay) membayar pelayanan kesehatan, dan nilainya wajar, masuk akal, dan berkeadilan.
3.   Keseimbangan pendapatan antar-dokter dan antar-spesialisasi seyogianya dapat mendorong terwujudnya piramida pelayanan kesehatan (primary, secondary, and tertiary care).
4.   Keseimbangan pendapatan dokter antar-wilayah dijaga agar pemerataan distribusi dokter di Indonesia dapat terwujud.
5.   Kompensasi dokter integral dengan produktivitas dokter dan dihitung berdasarkan kerja dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dengan mempertimbangkan karakteristik profesi dokter, waktu dan intensitas kerja dokter, dan kontribusi dokter dalam pembangunan kesehatan.
6.   Metode pembayaran dokter dapat mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan kedokteran bagi sebesar-besarnya kepentingan individu pasien, dokter dan pembayar.
7.   Metode untuk menentukan kompensasi dokter harus mempertimbangkan produktivitas dan mutu layanan, mudah diterapkan, transparan dan akuntabel.
8.   Kompensasi dokter dipengaruhi hukum ekonomi (supply and demand), sehingga harus dikawal dengan regulasi untuk menjamin ketersediaan dan distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia.
9.   Dokter menerima kompensasi yang seimbang dengan trias peran dokter (agent of change, angent of development, and agent of treatment) yang sangat strategis dalam pembangunan kesehatan nasional.

JC Robinson, 2001 mengatakan ”There are many mechanisms for paying physicians, some are good and some are bad. The worst are fee for service, capitation and salary”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu metode yang dapat memuaskan semua pihak. Ketiga metode yang saat ini digunakan di banyak negara memiliki prinsip dasar yang berbeda.
Case payment memiliki kesamaan konsep dengan kapitasi dalam hal transfer risiko ke pemberi pelayanan, tetapi pembayarannya per kasus atau per episode pelayanan.
Setiap metode membayar dokter ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan dokter sebagai pelaku ekonomi bereaksi sejalan dengan ciri setiap metode membayar yang diberlakukan. Dengan demikian, pilihan metode sangat ditentukan oleh kondisi setempat dan apa yang ingin dicapai. Ciri setiap metode tersebut dapat dilihat pada berikut.
1.       Salary
Metode salary merupakan metode yang paling sederhana. Dokter menerima pembayaran yang nilainya tetap untuk jam kerja tertentu secara periodik (umumnya bulanan) setelah melaksanakan tugas sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Nilai atau besar pendapatan telah ditentukan di muka berdasarkan berbagai faktor, seperti golongan kepangkatan, masa kerja, dan kualifikasi lainnya.
Pada dasarnya metode gaji adalah membayar waktu kerja (time-based) dan tidak bergantung pada produktivitas dan kualitas kerja yang dihasilkan dokter, dalam arti banyak atau sedikitnya pasien yang dilayani tidak mempengaruhi pendapatannya. Sifat alami yang melekat pada time-based adalah dokter tidak memperoleh insentif finansial bila ia melayani pasien lebih banyak, melakukan tindakan medik lebih banyak atau menghabiskan waktu lebih lama untuk kepentingan pasiennya.

Segi positif metode salary
Bagi dokter:
·     Memberi kepastian pendapatan bagi dokter, baik jumlah, waktu pembayaran, dan jam kerjanya.
·     Memberi autonomi profesi yang luas karena dokter tidak dibatasi dalam menegakkan diagnosis dan melaksanakan pengobatan.
·     Dokter tidak terdorong untuk memberikan pengobatan yang berlebihan, karena hal tersebut tidak mengubah pendapatan mereka.

Bagi pasien:
·     Pasien cenderung menerima layanan dan intervensi yang diperlukan, serta tidak terjadi pengobatan berlebihan yang tidak perlu.
·     Dokter tidak punya alasan untuk menolak melayani pasien yang datang pada jam kerjanya.

Segi negatif metode salary
Bagi dokter:
·     Dokter tidak memiliki motivasi untuk bekerja secara maksimal atau mengerahkan seluruh kemampuannya, karena jerih payahnya tidak mempengaruhi pendapatannya.
·     Dokter tidak memiliki kesadaran biaya karena apakah ia boros atau hemat dalam bekerja, hal tersebut tidak mempengaruhi pendapatannya.
·     Dokter tidak memiliki motivasi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan atau kepuasan pasien, karena hal ini tidak mempengaruhi pendapatan mereka.
·     Dokter tidak memiliki motivasi untuk membangun atau membina hubungan dekat dengan pasien mereka, karena hal ini tidak mempengaruhi pendapatan mereka.
Bagi pasien:
·     Pasien mungkin tidak menerima perhatian yang memadai dari dokter, yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien.
·     Akses ke pelayanan kesehatan terbatas dan terjadi antrian, kalau dokter ada tugas lain dan tidak mau menambah waktu kerjanya.
·     Metode gaji membentuk mentalitas birokrat, tidak memotivasi produktivitas, dan mendorong sikap santai saat bekerja.
·     Sifatnya yang terbuka menjadikan metode salary rentan terhadap kritikan publik bila nilainya terlampau tinggi atau terlampau rendah.


2. Fee For Service
Dalam metode fee for service, dokter dibayar berdasarkan jumlah atau jenis pelayanan yang diberikan kepada pasien. Harga tiap layanan dapat ditetapkan di muka (prospektif) yang nilainya sudah pasti (fixed), atau dapat pula nilainya tidak pasti (variable) yang ditentukan setelah pelayanan diberikan (retrospektif). Dalam sistem fixed, ada daftar tarif yang disepakati bersama yang menjadi dasar untuk menagih biaya pelayanan. Dalam sistem variabel tidak ada kepastian berapa biaya pelayanan yang harus dibayar, sehingga sistem ini pasien yang membayar langsung pada saat pelayanan diberikan (out of pocket).
Pada dasarnya metode FFS adalah berbasis pelayanan (service-based), yaitu menghitung pendapatan dokter berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan dokter. Sifat alami yang melekat pada FFS adalah dokter termotivasi memberikan pelayanan terbaik dan cenderung berlebihan kepada pasiennya (supply induced demand).







Segi positif metode FFS
Bagi dokter:
·     Dokter memiliki autonomi yang besar dalam menentukan layanan klinis untuk pasiennya.

·     Dokter mendapat insentif finansial untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas pelayanan kesehatan, sehingga dokter termotivasi untuk memberikan lebih banyak layanan dan berusaha memenuhi keinginan dan memuaskan pasien.

Bagi pasien:
·     Pasien kemungkinan besar akan mendapatkan perawatan pada tingkat dan kualitas yang optimal, meskipun ada risiko menerima pelayanan berlebihan (over treatment) dan tindakan/ pencegahan yang tidak perlu.
·     Pasien yang membutuhkan perawatan yang lebih banyak dan lebih rumit tidak ditolak/ dipersulit untuk memperoleh perawatan.
·     Pasien mempunyai kebebasan yang besar dalam memilih dan berganti dokter.

Segi negatif metode FFS
Bagi dokter:
·     Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial untuk meningkatkan volume layanan, dan melakukan tindakan/prosedur yang mahal, cenderung berlebihan (over treatment). Ini akan membebani pasien dan menyebabkan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan.
·     Dokter cenderung bekerja melebihi waktu normal, memberikan layanan yang cepat agar produktivitasnya meningkat, dan hal ini menyebabkan hubungan dokter-pasien tidak harmonis, pasien tidak puas, serta diagnosis dan pengobatan yang kurang tepat.
·     Dokter akan kehilangan pemasukan sama sekali apabila ia berhalangan praktik (sakit, pendidikan, liburan, atau halangan lainnya).

Bagi pasien:
·     FFS mendorong terjadinya prosedur medik yang tidak perlu, pelayanan berulang, pilihan condong ke tindakan pembedahan ketimbang pengobatan biasa, cenderung ke kuratif ketimbang preventif, dan cenderung menerapkan prosedur yang belum teruji yang dapat merugikan pasien.
·     Mengingat pasien cenderung percaya pada dokternya dan membuat keputusan berdasarkan nasihat dokter, dokter cenderung menciptakan layanan untuk pasiennya (provider-induced demand) yang berakibat pada peningkatan volume layanan bahkan oversupply dan overuse
.

3. Kapitasi
Metode kapitasi adalah metode pembayaran di muka dengan fixed fee per peserta per bulan. Dalam metode ini dokter dibayar berdasarkan jumlah peserta yang mendaftar, tidak bergantung pada frekuensi kunjungan, intensitas dan kompleksitas pelayanan, serta biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan peserta. Besarnya nilai kapitasi dihitung berdasarkan jenis pelayanan yang disepakati harus disediakan untuk peserta dengan mempertimbangkan pola pemanfaatan oleh peserta, dan dikoreksi dengan faktor tertentu seperti umur dan jenis kelamin. Berdasarkan perjanjian, dokter sepakat untuk memberikan pelayanan kepada pasien selama satu periode, biasanya satu tahun, dan menanggung seluruh biaya terkait dengan jenis pelayanan yang disepakati.
Pada dasarnya metode kapitasi adalah pembayaran population-based. Sifat alami metode kapitasi adalah pemberi layanan dilibatkan untuk menanggung risiko finansial pembiayaan kesehatan peserta (risk-transfered). Inheren dengan risk-transfered ini adalah kecenderungan dokter untuk memilih peserta yang sehat (adverse selection) dan mengurangi pelayanan yang menjadi hak peserta (under-serviced), karena dokter dihadapkan pada risiko merugi bila di antara pesertanya banyak yang memiliki faktor risiko dan penyakit yang membutuhkan pelayanan yang kompleks, mahal, dan beban kerja tinggi. Makin kecil jumlah peserta makin besar risiko yang dihadapi dokter. Idealnya jumlah peserta minimal 1000 orang.
Dalam metode kapitasi, pembayar dan dokter harus sepakat tentang jenis layanan apa saja yang akan disediakan untuk peserta dan yang biayanya dicakup dalam kapitasi. Jenis layanan ini harus diuraikan dengan jelas, karena lingkup pelayanan ini akan menentukan beban kerja dokter, tim dan perangkat kerja dokter, serta biaya praktek dokter. Lingkup pelayanan ini juga harus  diketahui peserta, agar peserta tidak menuntut pelayanan yang bukan haknya.
Dalam metode kapitasi DLP mempunyai daftar peserta (patient-roster/ patient-list/ capitation-list) yang menjadi tanggung jawabnya. Penentuan peserta dapat diatur dengan 3 cara, yaitu:
·     Memberi kebebasan kepada peserta untuk memilih DLP yang ada di direktori asuradur (voluntary). Cara ini lazimnya diterapkan di daerah pekotaan karena jumlah peserta besar, jumlah DLP tersebar merata, dan akses transportasi tidak ada masalah. Adanya kebebasan ini memotivasi DLP untuk bersaing menjaga mutu layanan dan kepuasan peserta.
·     Asuradur menetapkan ke DLP mana peserta harus berobat (appointed). Cara ini digunakan bila jumlah peserta terbatas dan menjaga agar daftar peserta tidak di bawah batas minimum.
·     Menyerahkan pelayanan kesehatan seluruh penduduk di satu wilayah kepada seorang DLP (geographic capitation). Cara ini lazimnya diterapkan di daerah terpencil.
Untuk menghindari adverse selection dan under-services, pendapatan DLP dalam metode kapitasi diatur mengikuti sebuah formula yang dibuat berdasarkan variabel yang sahih, seperti ciri demografi (jumlah penduduk, umur, jenis kelamin), mortalitas dan morbiditas, pengalaman dan kompetensi dokter. Formula ini digunakan untuk mengoreksi kapitasi agar risiko terbagi merata, ada kesetaraan alokasi dana, dan dokter tidak merugi. Dengan begitu, pendapatan DLP akan berbeda, meskipun memiliki jumlah peserta sama dan kapitasi per peserta per tahun juga sama.
Metode kapitasi dapat diterapkan dalam berbagai variasi sesuai dengan kondisi setempat dan tujuan yang ingin dicapai. Variasi ini terjadi karena perbedaan lingkup pelayanan, sehingga ada kapitasi lengkap dan kapitasi parsial. Dari pengelolaan dan pembayaran, dikenal kapitasi dengan wildhold dan kapitasi tanpa wildhold, atau kapitasi dengan risk-pool dan kapitasi tanpa risk-pool. Dua cara terakhir ini lazim diterapkan untuk mengurangi risiko dan memotivasi dokter mengendalikan suatu jenis pelayanan, salah satunya  rujukan.
Metode kapitasi lebih mudah diterapkan di strata primer dan lebih mudah diterima oleh DLP ketimbang dokter spesialis, mengingat konsep kapitasi dan konsep pelayanan primer dapat dikatakan sejalan. Kunjungan ke DLP sebagian besar mengenai daily problems, yang probabilitas kejadiannya tinggi. Cara dan sumber daya untuk mengatasi masalah ini juga tidak terlalu bervariasi, dan biayanya mudah diprediksi. Hal-hal ini yang membedakannya dengan pelayanan di strata sekunder/ tersier yang umumnya memiliki probalilitas relatif kecil dan variasi pembiayaannya sangat beragam, meskipun kadang diagnosis sama.
Segi positif metode kapitasi
Bagi dokter:
·     Dokter mempunyai kepastian berapa pendapatannya dalam satu periode dan untuk mengamankan pendapatannya dokter akan berupaya agar peserta yang terdaftar dalam komunitas binannya merasa puas dengan layanannya dan tidak pindah ke dokter lain.
·     Dokter terdorong bekerja efisien dan rasional, karena setiap layanan yang diberikan kepada pasien menjadi biaya yang harus ditanggung dokter. Oleh sebab itu dokter berusaha meresepkan obat generik, serta menghindari tindakan yang mahal dan kunjungan berulang untuk meminimalkan biaya pelayanan.
·     Dokter terdorong untuk melakukan upaya promotif-preventif seperti edukasi pola hidup sehat, diet, kebugaran, berhenti merokok, dan upaya lain yang dapat meningkatkan status kesehatan dan mengedalikan biaya kesehatan di kemudian hari, yang pada gilirannya mengamankan pendapatan dokter.
·     Dokter yang praktik bersama melayani banyak peserta akan lebih efisien dan pendapatannya lebih aman ketimbang dokter yang berpraktik sendiri. Dengan bekerja dalam kelompok dokter berbagi risiko, pengeluaran, dan perangkat kerja.

Bagi pasien:
·     Pasien cenderung mendapat pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang berlebihan jarang terjadi, karena dokter tidak mendapat insentif finansial untuk melakukan tindakan yang berlebihan (over treatment).
·     Hubungan dokter dengan individu peserta, atau antara sekelompok dokter dengan komunitas peserta menjadi lebih baik dan bersinambung dan hal ini memudahkan dokter mengidentifikasi masalah kesehatan peserta.
·     Perencanaan dan pengendalian biaya kesehatan suatu populasi lebih mudah mengingat pengeluaran biaya identik dengan besar populasi yang dilayani dikalikan nilai kapitasi yang pasti.

Segi negatif metode kapitasi
Bagi dokter:
·     Dokter cenderung untuk memilih pasien yang relatif sehat dan yang berusia muda. (cream skimming/ cherry picking). Untuk mengamankan biaya operasionalnya dokter berusaha menolak pasien yang memiliki risiko tinggi dan memerlukan pelayanan yang banyak dan rumit (adverse selection)
·     Dokter termotivasi untuk membatasi jumlah layanan atau mengurangi layanan yang seharusnya diberikan kepada pasien (under-servicing) dan tidak memberikan pelayanan berkualitas tinggi yang biasanya mahal (under-quality) karena ingin meningkatkan pendapatannya.
·     Dokter termotivasi untuk merujuk pasien berlebihan ke strata sekunder (over-referral), seperti ke spesialis atau rumah sakit untuk menghemat biasa operasionalnya sendiri.

Bagi pasien:
·     Pasien bisa mendapatkan pelayanan yang kurang optimal (under service), karena dokter cenderung menekan biaya sehingga mengorbankan kualitas dan kuantitas pelayanan.
·     Pasien tidak memiliki kebebasan memilih dokter dan hanya bisa berobat pada dokter atau kelompok dokter yang telah ditentukan.
·     Pasien yang memiliki banyak masalah kesehatan dan pengobatannya kompleks dan membutuhkan banyak biaya cenderung dihindari dari daftar peserta (adverse selection).
.

Dalam era JKN karena faskes dilibatkan dalam menanggung risiko finansial, maka ada kecenderungan faskes akan menata ulang tata cara pelayanan pasiennya dan cara membayar dokternya. Kondisi ini akan mendorong faskes untuk membuat suatu sistem remunerasi untuk seluruh personilnya, termasuk sistem remunerasi dokter.
Penerapan JKN membutuhkan sistem pelayanan kesehatan berorientasi pelayanan primer. Dalam sistem ini dapat dipastikan mayoritas dokter Indonesia adalah DLP. DLP ditempatkan sebagai fondasi sistem pelayanan kesehatan dan harus tersedia merata di seluruh tanah air, maka harus ada kebijakan yang menjadikan DLP sebagai profesi yang atraktif dari segi karir, pendapatan, dan perannya di masyarakat. Salah satu kebijakan untuk menjamin eksistensi dokter layanan primer adalah jaminan pendapatan yang relatif tidak jauh berbeda dengan pendapatan dokter spesialis.
Keuntungan terbesar metode gaji terletak pada kemudahan dan kesederhanaan administrasinya, sehingga biaya personil dapat direncanakan di muka, Sedangkan kerugian terbesar adalah tidak ada insentif bagi dokter untuk bekerja lebih baik dan lebih efisien.
Metode FFS mendorong peningkatan produktivitas sistem pelayanan kesehatan, meskipun sejalan dengan itu menghabiskan biaya yang lebih besar. Di negara yang menerapkan sistem ini, terbukti biaya kesehatan terus meningkat. Oleh sebab itu penerapan metode FFS harus diimbangi dengan regulasi untuk mengurangi segi negatif dan memperkuat segi positifnya
Kapitasi adalah metode pembayaran dokter yang tepat untuk meningkatkan efisiensi biaya, akses dan kualitas perawatan, dan kepuasan pasien. Namun metode ini perlu dinaungi rambu-rambu regulasi untuk menghilangkan sisi negatifnya, antara lain dengan langkah berikut:
·     Membuat kebijakan open enrollment pada suatu wilayah geografis atau wilayah administratif pemerintahan. Kebijakan ini dapat mencegah dokter memilih pasien yang relatif sehat saja ke dalam daftar peserta mereka. Sebaliknya ini juga menguntungkan dokter karena mengurangi risiko daftar peserta didominasi oleh pasien yang relatif kurang sehat.
·     Membuat kebijakan yang dapat mendorong persaingan antar-dokter. Kalau pasien secara berkala diberi kesempatan untuk memilih dokter, dokter akan menjaga kualitas dan kuantitas pelayanan mereka agar pasiennya tidak pindah ke dokter lain.
·     Menetapkan paket layanan yang memasukkan banyak pelayanan yang ada pada tingkat sekunder. Misalnya kalau kunjungan ke spesialis termasuk dalam paket layanan kapitasi seorang dokter, maka ia tidak terdorong untuk merujuk pasiennya ke spesialis.
·     Membuat sebuah sistem pengawasan dan pengendalian mutu untuk mencegah dokter mengorbankan kualitas dalam memaksimalkan pendapatannya.
Penerapan metode kapitasi bisa mudah dan bisa juga rumit, karena bergantung pada tujuan yang ingin dicapai, data yang tersedia, dan kesiapan regulasinya. Setidaknya harus ada kepastian pada dua hal, yaitu:
·     data besaran nilai kapitasi per peserta per bulan dan data komponen biaya yang membentuk nilai kapitasi tersebut, serta data demografi, morbiditas dan utilisasi populasi.
·     formula yang disepakati untuk membayar DLP.
Dalam kondisi ini Pemerintah telah menetapkan satu metode, yaitu kapitasi, sebagai cara membayar fasilitas kesehatan primer. Tepatkah kebijakan ini mengingat banyak negara telah meninggalkan kebijakan hanya menggunakan satu metode pembayaran? Negara-negara OECD misalnya mulai menerapkan metode campuran untuk memanfaatkan segi positif dari setiap metode pembayaran dokter, dan terbukti hasil lebih baik.
Metode membayar dokter tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai isu strategis. Berbagai isu tersebut menunjukkan bahwa menerapan suatu metode membayar dokter harus disertai pula dengan menyelesaikan berbagai masalah mendasar tersebut. Dengan demikian, kita melihat metode membayar dokter dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian dari upaya membangun sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer untuk menopang penerapan JKN. Sistem ini harus mampu menjangkau seluruh penduduk di wilayah NKRI. Dari konteks ini, diyakini bahwa penentu keberhasilan JKN adalah 5 faktor berikut ini, yaitu :
1.   ketersediaan fasilitas primer yang merata di seluruh wilayah NKRI
2.   ketersediaan Dokter Layanan Primer yang handal sebagai gatekeeper dan tersebar merata di seluruh NKRI
3.   rayonisasi/ regionalisasi fasilitas kesehatan
4.   iuran JKN yaang memenuhi asas kepatutan dan asas ekonomi
5.   masyarakat menerapkan paradigma sehat (UKM)
Dengan mempertimbangkan keberagaman dan keunikan antar- dan intra-wilayah di Indonesia, faktor penentu keberhasilan JKN, dan peranan BPJS, maka timbul pemikiran untuk mencari metode membayar dokter yang dimanfaatkan untuk:
·     mendorong penyebaran dan pemerataan dokter ke seluruh wilayah NKRI
·     meningkatkan kompetensi DLP
·     mengurangi kesenjangan pendapatan antar dokter (terlebih dokter umum dan spesialis)
·     meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

Berdasarkan data riskesdas yang sudah dicantumkan di atas, dengan proporsi masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan akan sangat memberatkan apabila mereka harus menanggung biaya medis dan harus mengeluarkan biaya sendiri yang notabene sangat besar dan dokter memberikan pelayanan medik kepada pasien berdasarkan insentif, bukan berdasarkan kebutuhan sehingga mengakibatkan peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan pelayanan kesehatan. Dengan mereduksi  proporsi masyarakat yang membayar pelayanan dokter menggunakan metode fee for service, maka hal ini juga akan mereduksi  peluang terjadinya konflik-konflik bioetika ketika para dokter melayani supplier induced demand. Untuk mengatasinya, penting untuk memperbaiki sistem kesehatan. Sistem kesehatan sebaiknya mengurangi pendapatan dokter yang berasal dari unsur fee-for-service dengan menguatkan asuransi kesehatan (Trisnantoro, 2007).
Dasar pemikiran ini mengerucut menjadi sebuah metode membayar dokter yang disebut sebagai metode Sandwich.
Metode Sandwich adalah metode pembayaran dokter yang menggabungkan sekaligus tiga metode membayar dokter, yaitu: salary, capitation, dan fee for service menjadi satu metode yang dipayungi filosofi pay for performance.
Disebut sebagai metode Sandwich karena metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu
a.    komponen basik,
b.   komponen untuk menghargai tanggung jawab dan beban kerja dokter, dan
c.    komponen untuk memberi insentif atas partisipasi dokter mendukung pencapaian target pembangunan kesehatan nasional


Penerapan model Sandwich tidak membutuhkan administrasi yang sulit dan tidak memerlukan persiapan yang rumit. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nasional yang menetapkan profesi dokter sebagai sumber daya manusia strategis yang eksistensinya harus dijamin negara. Ketetapan ini pada hakekatnya melengkapi UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran.
Metode Sandwich dapat digunakan untuk menyusun sistem remunerasi dokter di suatu faskes yang memiliki dua dokter atau lebih, dengan tujuan untuk menciptakan transparansi dalam membagi pendapatan faskes.  
Metode Sandwich juga dapat diterapkan di puskesmas yang dikontrak BPJS. Dalam hal ini gaji dokter PNS yang mengacu pada PGPNS dianggap sebagai komponen satu. Proporsi jasa pelayanan dari kapitasi BPJS yang menjadi hak dokter digunakan untuk membayar komponen dua. Sedangkan pembayaran komponen tiga dapat disisihkan dari kapitasi BPJS yang diterima puskesmas, atau bersumber dari pengelola program tingkat nasional, atau dana khusus di BPJS yang dialokasikan untuk membiayai program nasional di luar kapitasi. Jadi setiap puskesmas, terutama yang sudah menjadi BLUD, dapat dengan mudah menerapkan prinsip-prinsip metode Sandwich yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Metode Sandwich dapat digunakan untuk menyusun sistem remunerasi dokter di tingkat nasional. Dalam hal ini diperlukan kebijakan tentang standar formula yang digunakan, standar nilai, sumber untuk membiayai, serta tatacara pengelolaannya. Metode Sandwich cukup fleksibel, sehingga penerapannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya:
·     Menetapkan komponen 1 (untuk membayar kebutuhan dasar profesi dokter) menjadi tanggung jawab pemerintah. Penerapannya dapat berupa kebijakan tentang status dan pendapatan dokter yang harus diikuti institusi yang mempekerjakan dokter, atau dapat lebih jauh lagi seperti komponen 1 menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah yang mempekerjakan dokter tersebut.
·     Menetapkan komponen 2 (kompensasi untuk tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter) menjadi tanggung jawab institusi tempat dokter bekerja, dan sumber biayanya dari pendapatan faskes, termasuk pendapatan dari BPJS.
·     Menetapkan komponen 3 (insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional) sumber biayanya dari pemerintah, atau dapat pula bersumber dari dana khusus BPJS untuk membiayai program kesehatan nasional.
·     Mewajibkan semua fasilitas kesehatan menggunakan metode Sandwich sebagai acuan menyusun remunerasi dokter, dan menggunakan standar nilai yang ditetapkan pemerintah.
Penerapan metode Sandwich secara nasional akan menjadikan karir dan pendapatan dokter menjadi lebih transparan dan lebih pasti. Hal ini akan sangat membantu para dokter untuk merencanakan karirnya, misalnya apakah akan membuka praktik di suatu daerah terpencil atau sebaiknya menjadi pegawai gajian saja (PNS). Para dokter pun diharapkan termotivasi meningkatkan kompetensi dan aktif berpartisipasi melaksanakan program nasional, karena hal ini berdampak langsung pada peningkatan pendapatannya.
Pihak faskes yang mempekerjakan dokter dan BPJS pun akan memperoleh manfaat, karena penerapan metode Sandwich ini menyebabkan biaya yang dibutuhkan untuk membayar okter menjadi lebih pasti dan tidak terlalu fluktuatif, dan hal ini akan memudahkan proses perencanaan. Pencapaian target program nasional diharapkan juga meningkat, mengingat besarnya populasi yang dicakup oleh DLP dan era JKN nanti.
Metode Sandwich yang dirancang untuk membayar dokter layanan primer ini, dapat pula diterapkan untuk membayar dokter spesialis. Penyesuaian yang harus dilakukan adalah pada komponen 2, yaitu komponen untuk membayar kompensasi untuk tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter. Dengan mempertimbangkan cara kerja dan pola pelayanan dokter spesialis, metode yang tepat untuk membayar komponen 2 ini adalah metode FFS, namun pembayarannya bukan berdasarkan tarif jasa medik, tapi berbasis relative value unit (RVU) yang diadopsi dari konsep Resource Based Relative Value Scale (RBRVS). Jadi metode Sandwich untuk membayar dokter spesialis terdiri dari 3 komponen:
·     komponen 1 (sebagai kompensasi kebutuhan dasar profesi dokter), berbasis salary,
·     komponen 2 (sebagai kompensasi tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter), berbasis relative value unit, dan
·     komponen 3 (sebagai insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional), berbasis fee for service reimbursement.
Metode sandwich ini bisa menjadi alternatif metode pembayaran dokter yang baik di era JKN saat ini. Dengan penggabungan ini keunggulan dari setiap metode dimanfaatkan dan kelemahannya dieliminasi.








DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013
Chawla, Mukesh at al. Paying the Physician : Review of Different Methods. Boston : Department of Population and International Health Harvard School of Public Health, 1997.
Fujisawa, Rie et al. The Remuneration Of General Practitioners And Specialists In 14 OECD Countries: What Are The Factors Influencing Variations Across Countries?. 2008
Gosden T et al. Capitation, salary, fee-for-service and mixed systems of payment: effects on the behaviour of primary care physicians (Review). Wiley, 2006.
Grignon, Michel et al. Influence of Physician Payment Methods on the Efficiency of the Health Care System. Commission on the Future of Health Care in Canada, 2002.
Hsiao WC, Braun P, Becker ER, et al: The Resource-Based Relative Value Scale – Toward the development of an alternative physician payment system. JAMA 1987; 258: 799-802.
Robinson, James C. Theory and Practice in the Design of Physician Payment Incentives. Berkeley : University of California, 2001.
Soetono, Gatot. Konsep IDI Tentang Jasa Pelayanan Dokter. Jakarta : IDI, 2008.
Thabrany, H. Current health insurance coverage in Indonesia. Paper presented in the Asia- Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care, Jakarta May 22-26, 2002.
The World Health Report 2000. Health Systems: Improving Performance. WHO, 2000.
Trisnantoro L. 2007. Sistem Pembayaran Dokter Mesti Diperbaiki http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=4450&tbl=cakrawala (21 Desember 2013)