SALARY
vs FEE FOR SERVICE vs KAPITASI
Rasionalitas Insentif Profesi Dokter sebagai Pemberi
Layanan Kesehatan dan Perspektif Pasien sebagai Masyarakat dalam Era Kebijakan JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional)
Hening Tirta
Kusumawardani
Program Studi Epidemiologi Klinik Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
Abstrak
Latar Belakang : Biaya berobat
telah menjadi penghalang (financial
barrier) akses ke layanan kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun
yang bangkrut dan ekonomi keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya
kesehatan (financial catastrophy) dan
100 juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002). World Health Assembly mengeluarkan
resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage
diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. Ketentuan ini
bertujuan untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga negara, untuk
tindakan preventif yang efisien dan tepat, promotif, kuratif dan rehabilitatif
pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau (affordable cost). Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi
di atas, pemerintah Indonesia juga bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan
perorangan. Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan
nasional juga akan memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan
sosial. Sebagai “bintang ekonomi” perilaku dokter mengikuti metode pembayaran
sehingga kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak
negatif bagi pasien dan masyarakat.
Metode : Penelitian cross sectional dengan analisis
deskriptif menggunakan data Riskesdas 2013. Sampling Riskesdas 2013 dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara bertahap, mulai dari pemilihan primary
sampling unit (PSU) sampai dengan tahap pemilihan rumah tangga (RT). Lokasi RT
sampel terpilih tersebar di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 11.986 blok sensus
(BS) dari 12.000 BS yang ditargetkan (99,9%). Rumah tangga terpilih diperoleh
berdasarkan 300.000 bangunan sensus (bangsen), 99,4% diantaranya terdiri dari 1
kepala keluarga (KK), selebihnya terdiri dari 2 KK atau lebih. Riskesdas 2013
berhasil mendata 294.959 RT, 98,3% dari yang ditargetkan, mencakup 1.027.763
anggota rumah tangga (ART), 93% dari yang ditargetkan. Parameter jaminan dan
pembiayaan kesehatan berdasarkan karakteristik penduduk seperti kelompok umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, status dan jenis pekerjaan, tempat tinggal,
serta kuintil indeks kepemilikan.
Hasil : Dari data
Riskesdas 2013 di atas didapatkan proporsi penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan askes sosial adalah sebesar 6% dengan tingkat utilisasi sebesar
71,9%. Masyarakat yang yang memiliki
jaminan kesehatan jamsostek adalah sebesar 4,4% dengan tingkat utilisasi sebesar
62,5%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan askes swasta adalah sebesar
1,7% dengan tingkat utilisasi sebesar 63,1%. Masyarakat yang memiliki jaminan
kesehatan tunjangan perusahaan adalah sebesar 1,7% dengan tingkat utilisasi
sebesar 72,4%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan jamkesmas adalah
sebesar 28,9% dengan tingkat utilisasi sebesar 50,9%. Masyarakat yang memiliki
jaminan kesehatan jamkesda adalah sebesar 9,6% dengan tingkat utilisasi sebesar
54,1%. Dan masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan sebesar 50,5%
dengan tingkat utilisasi sebesar 0%.
Kesimpulan : Dengan
tingginya proporsi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki jaminan kesehatan
bisa dipastikan pembiayaan kesehatan paling banyak dilakukan dengan metode
pembayaran out of pocket yang
pastinya bisa menimbulkan moral hazard
dan terkadang missused ataupun overused. Metode membayar dokter selama
ini hanya dipandang sebagai transaksi sederhana, yaitu memberi imbalan pada
dokter atas kerjanya mengobati pasien. Dengan metode Sandwich, transaksi
sederhana tersebut berubah menjadi instrumen yang dapat digunakan untuk
mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong penyebaran dan
pemerataan dokter, dan memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya,
sekaligus mengurangi kesenjangan pendapatan antar dokter.
Kata Kunci : Universal Health Coverage, Jaminan
Kesehatan Nasional, Riskesdas, Jaminan Kesehatan
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan telah menjadi
komoditas, dalam arti hanya mereka yang memiliki uang yang bisa mendapatkan
pelayanan kesehatan. Komoditas pun bukan komoditas biasa, tapi juga komoditas
yang mahal dan harganya meningkat dari tahun ke tahun, sehingga membebani
masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang tidak mempunyai
asuransi kesehatan. Biaya berobat telah menjadi penghalang (financial barrier) akses ke layanan
kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi
keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan (financial catastrophy) dan 100 juta orang setahun yang jatuh miskin
karena sakit (WHO, 2002).
Pelayanan kesehatan juga rentan
terjadinya moral hazard. Dalam
kondisi pelayanan kesehatan yang telah menjadi komoditas dan kentalnya
konsumerisme, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam mencari
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, mengingat keterbatasan
informasi yang dimilikinya (asimetry
information). Seiring dengan itu masyarakat membayar secara out of pocket (OOP) dan fee for service (FFS) pada saat mereka
membutuhkan pelayanan.
Hak tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap
bangsa-bangsa di dunia. Di Indonesia pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1) yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan
berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi
janda/ duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan
kekurangan nafkah.
Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca
Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan
sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke 58 tahun 2005 di
Jenewa, World Health Assembly (WHA)
menggarisbawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin
tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan
perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke 58 mengeluarkan
resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage
diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA menyarankan
kepada WHO agar mendorong negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan
sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan menuju Universal Health Coverage. Ketentuan ini
bertujuan untuk memastikan akses yang adil bagi semua warga negara, untuk
tindakan preventif yang efisien dan tepat, promotif, kuratif dan rehabilitatif
pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau (affordable cost).
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara
Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak
ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No.
23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU
36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai
kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah
dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di
bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT
Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu,
pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian,
skema-skema tersebut masih terfragmentasi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan
menjadi sulit terkendali. Namun disayangkan, dari kedua ketentuan UU tersebut,
peran daerah dalam upaya pencapaian universal
health coverage di Indonesia tidak dimunculkan dengan baik. Hingga saat
ini, sudah 32 juta penduduk di Indonesia yang sudah dicover oleh Jamkesda.
Permasalahan yang dihadapi, sampai saat ini belum ada kejelasan tentang posisi
Jamkesda sehingga menimbulkan kesimpangsiuran terhadap peran jamkesda dan yang
harus disiapkan untuk berpartisipasi dalam universal
health coverage
Untuk mewujudkan komitmen global dan
konstitusi di atas, pemerintah bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan
perorangan. Asuransi kesehatan mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya
kesehatan dari kantong sendiri out of
pocket, dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan
biaya yang sangat besar. Untuk itu diperlukan suatu jaminan dalam bentuk
asuransi kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan
demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong royong oleh
keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan secara orang per orang.
Tetapi asuransi kesehatan saja tidak
cukup. Diperlukan Asuransi Kesehatan Sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Mengapa?
Pertama, premi asuransi komersial
relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Kedua, manfaat yang ditawarkan umumnya
terbatas. Sebaliknya, asuransi kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan
sebagai berikut. Pertama, memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi
terjangkau. Kedua, asuransi kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya
dan mutu. Itu berarti peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan
biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah
sakit”.
Ketiga, asuransi kesehatan sosial
menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan).
Keempat, asuransi kesehatan sosial
memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk melindungi seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan
sosial/ JKN bersifat wajib.
Sehingga untuk merealisasikan hal itu,
pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi
seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang
terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
merupakan tonggak sejarah dimulainya reformasi menyeluruh sistem jaminan sosial
di Indonesia. Reformasi terhadap program jaminan sosial yang berlaku saat ini
dianggap penting karena kita melihat banyak peraturan pelaksanaan yang parsial
dan tumpang tindih, manfaat program yang minim dan jangkauan program yang
sangat terbatas serta hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat.
Penerapan JKN menyebabkan perubahan
fundamental pada berbagai aspek yang terkait dengan industri kesehatan di tanah
air. Pelayanan kesehatan akan menjadi hak penduduk, bukan lagi komoditas yang
hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. Tapi penduduk pun wajib
membayar iuran, menggunakan fasilitas kesehatan secara berjenjang, dan
mengadopsi perilaku hidup sehat. Iuran penduduk miskin dan tidak mampu akan
dibayari Pemerintah. Dengan demikian seluruh penduduk dimanapun ia berdomisili
diharapkan akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.
Profesi dokter sebagai tulang punggung
sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan memasuki era baru, era pembayaran
mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial.
Sebagai “bintang ekonomi” perilaku dokter mengikuti metode pembayaran
sehingga kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak
negatif bagi pasien dan masyarakat.
Proporsi biaya untuk membayar dokter
terhadap total biaya kesehatan relatif besar, misalnya di Canada biaya dokter
tercatat 15% dari total biaya kesehatan di negara tersebut (Deber, 1998). Hal
yang lebih bermakna adalah kinerja dan perilaku dokter terbukti memberi
pengaruh besar terhadap total biaya kesehatan. Setiap tindakan dokter dapat
diibaratkan dirigen yang menaikkan atau menurunkan nada biaya. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa perilaku dokter dalam menjalankan praktik
kedokteran sangat dipengaruhi oleh metode membayar dokter.
Menurut WHO (1993) cit Hendrartini
(2007) terdapat 7 metode pembayaran utama, sebagai berikut:
1.
Pembayaran
berdasar pelayanan (fee for service).
Pembayaran per item pelayanan, yaitu tindakan per diagnosis, terapi, pelayanan
pengobatan dan tindakan identifikasi satu per satu, kemudian dijumlahkan dan
ditagih rekeningnya.
2.
Pembayaran
berdasar kasus (case payment).
Pembayaran bagi paket pelayanan atau episode pelayanan. Pembayaran tidak
didasarkan oleh item, kemudian dijumlahkan seperti pada nomor 1. Daftar
pembayaran mungkin tidak berkaitan dengan biaya pelayanan sesungguhnya yang
diberikan kepada pasien tertentu di suatu rumah sakit, seperti yang terjadi
pada pembayaran berdasarkan “diagnosis
related groups” (DRG).
3.
Pembayaran
berdasarkan hari (daily charge).
Pembayaran langsung dengan jumlah tetap per hari bagi pelayanan atau
hospitalisasi.
4.
Pembayaran
bonus atau flat rate (bonus payment). Pembayaran langsung
sejumlah yang disepakati (biasanya global) bagi tipe pelayanan yang diberikan.
5.
Kapitasi.
Pembayaran dengan jumlah yang ditetapkan berdasarkan jumlah orang yang menjadi
tanggung jawab dokter (biasanya setiap tahun). Pasien dengan kategori yang
berbeda, misalnya berumur lebih dari 75 tahun, mungkin dikenai angka kapitasi
yang berbeda pula.
6.
Gaji
(salary). Pendapatan per tahun yang
tidak berdasarkan beban kerja atau biaya pelayanan yang diberikan.
7.
Anggaran
global. Seluruh anggaran pelaksanaan ditetapkan di muka yang dirancang untuk
menyediakan pengeluaran tertinggi, tetapi memungkinkan pemanfaatan dana secara
fleksibel dalam batas waktu tertentu Secara umum besarnya potensi pendapatan
dokter setahun merupakan perkalian antara produktivitas dokter dengan jasa
medik. Jasa medik adalah imbalan yang diberikan kepada dokter untuk suatu jenis
layanan medik (dalam metode pembayaran FFS). Besarnya jasa medik semestinya mempertimbangkan
kemampuan dan kemauan masyarakat membayar (ability
and willingness to pay).
Dokter tidak bisa lagi menentukan
tarifnya secara sepihak, tarifnya akan ditentukan oleh BPJS setelah
bernegosiasi dengan asosiasinya. Metode pembayaran ke fasilitas kesehatan telah
pula ditetapkan, yaitu secara INA-CBG dan kapitasi. Kedua metode ini memiliki
filosofi yang sama, yaitu mentransfer risiko ke fasilitas kesehatan yang
berarti dokter ikut menanggung risiko biaya bila memberikan pelayanan tidak sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan.
Metode membayar dokter tidak hanya
dipandang sebagai transaksi sederhana memberi imbalan atas kerja dokter
mengobati pasien. Metode membayar dapat digunakan untuk mengubah perilaku
dokter dalam menjalankan praktik kedokteran, mendorong persebaran dan
pemerataan dokter, memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, dan
mengurangi disparitas pendapatan antar dokter. Dengan kata lain, metode
membayar dokter dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menata ulang sistem
pelayanan yang saat ini berberorientasi spesialis menjadi berorientasi
pelayanan primer.
Metode membayar dokter merupakan isu
yang sangat menentukan, mengingat peranan dan fungsi profesi dokter yang sangat
strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter bukan saja bertindak
sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup bermakna,
dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh
besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Untuk itulah
tulisan ini membahas tentang metode pembayaran dokter yang paling baik dalam
era JKN yang sudah diterapkan di Indonesia per tanggal 1 Januari 2014.
METODE
Penelitian
cross sectional dengan analisis
deskriptif menggunakan data Riskesdas 2013. Sampling Riskesdas 2013 dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara bertahap, mulai dari pemilihan primary
sampling unit (PSU) sampai dengan tahap pemilihan rumah tangga (RT). Lokasi RT
sampel terpilih tersebar di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 11.986 blok sensus
(BS) dari 12.000 BS yang ditargetkan (99,9%). Rumah tangga terpilih diperoleh berdasarkan
300.000 bangunan sensus (bangsen), 99,4% diantaranya terdiri dari 1 kepala
keluarga (KK), selebihnya terdiri dari 2 KK atau lebih. Riskesdas 2013 berhasil
mendata 294.959 RT, 98,3% dari yang ditargetkan, mencakup 1.027.763 anggota
rumah tangga (ART), 93% dari yang ditargetkan. Parameter jaminan dan pembiayaan
kesehatan berdasarkan karakteristik penduduk seperti kelompok umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, status dan jenis pekerjaan, tempat tinggal, serta
kuintil indeks kepemilikan.
HASIL
Dari data Riskesdas tahun 2013 tersebut
didapatkan proporsi masyarakat kelompok ekonomi terbawah memiliki jaminan askes
sosial sebanyak 0%, jamsostek 0%, askes swasta 0%, tunjangan perusahaan 0%,
jamkesmas 50%, jamkesda 10%, dan 40% tidak memiliki jaminan kesehatan. Untuk
masyarakat kelompok ekonomi menengah bawah memiliki jaminan askes sosial
sebanyak 1%, jamsostek 1%, askes swasta 0%, tunjangan perusahaan 0%, jamkesmas
45%, jamkesda 10%, dan 45% tidak memiliki jaminan kesehatan. Masyarakat
kelompok ekonomi menengah memiliki jaminan askes sosial sebanyak 3%, jamsostek
3%, askes swasta 0%, tunjangan perusahaan 1%, jamkesmas 32%, jamkesda 8%, dan
53% tidak memiliki jaminan kesehatan. Masyarakat kelompok ekonomi menengah atas
memiliki jaminan askes sosial sebanyak 7%, jamsostek %7, askes swasta 1%,
tunjangan perusahaan 2%, jamkesmas 18%, jamkesda 10%, dan 55% tidak memiliki
jaminan kesehatan. Masyarakat kelompok ekonomi teratas memiliki jaminan askes
sosial sebanyak 18%, jamsostek 9%, askes swasta 6%, tunjangan perusahaan 2%,
jamkesmas 9%, jamkesda 11%, dan 45% tidak memiliki jaminan kesehatan
Dari data Riskesdas 2013 di atas
didapatkan proporsi penduduk yang memiliki jaminan kesehatan askes sosial
adalah sebesar 6% dengan tingkat utilisasi sebesar 71,9%. Masyarakat yang yang memiliki jaminan
kesehatan jamsostek adalah sebesar 4,4% dengan tingkat utilisasi sebesar 62,5%.
Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan askes swasta adalah sebesar 1,7%
dengan tingkat utilisasi sebesar 63,1%. Masyarakat yang memiliki jaminan
kesehatan tunjangan perusahaan adalah sebesar 1,7% dengan tingkat utilisasi
sebesar 72,4%. Masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan jamkesmas adalah
sebesar 28,9% dengan tingkat utilisasi sebesar 50,9%. Masyarakat yang memiliki
jaminan kesehatan jamkesda adalah sebesar 9,6% dengan tingkat utilisasi sebesar
54,1%. Dan masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan adalah sebesar
50,5% dengan tingkat utilisasi sebesar 0%.
Untuk pengobatan rawat jalan ataupun
rawat inap, masyarakat Indonesia paling banyak menggunakan biaya sendiri, untuk
rawat inap proporsi penduduk sebesar 53,5% dan untuk rawat inap sebesar 67,9%.
Sedangkan proporsi kedua terbanyak menggunakan jamkesmas, untuk rawat inap
proporsi penduduk sebesar 22% dan untuk rawat jalan sebesar 20%. Sedangkan yang
lainnya berasal dari tunjangan perusahaan (untuk rawat inap 4% dan untuk rawat
jalan 1,8%), asuransi swasta (untuk rawat inap 1,8% dan untuk rawat jalan
0,7%), jamsostek (untuk rawat inap 3,5% dan untuk rawat jalan 2%), asuransi
sosial (untuk rawat inap 5,4% dan untuk rawat jalan 3,2%), lainnya (untuk rawat
inap 4,8% dan untuk rawat jalan 1,8%), dan ada juga yang berasal lebih dari
satu sumber (untuk rawat inap 4,9% dan untuk rawat jalan 1,1%)
Berdasarkan data di atas dapat
dinyatakan bahwa di Indonesia proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebesar
25% dengan taksiran biaya yang dikeluarkan dalam 1 bulan terakhir rata-rata Rp
7.000,00. Beberapa Propinsi berada di atas proporsi masyarakat Indonesia yang
mengobati sendiri, diantaranya yaitu Propinsi yang memiliki proporsi tertinggi
yaitu sebanyak 40% namun dengan taksiran biaya terendah yaitu rata-rata sebesar
Rp 2.500,00. Lain halnya dengan Propinsi Papua yang memiliki proporsi terendah
yaitu hanya 10% dengan taksiran biaya tertinggi yaitu rata-rata sebesar Rp
20.000,00. Selain Propinsi Papua, Propinsi NTT juga menduduki peringkat yang
cukup tinggi menyamai Propinsi Papua untuk taksiran biaya sendiri yang harus
dikeluarkan yaitu sebesar Rp 20.000,00. Sedangkan kota-kota besar seperti
Jateng, DIY, Jabar DKI, Riau memiliki taksiran biaya yang dikeluarkan sama
dengan rata-rata biaya Indonesia.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya pendapatan dan jasa medik
merupakan wujud dari tingkat penghargaan masyarakat pada profesi dokter dan bagaimana
dokter sendiri menghargai profesinya. Idealnya jasa medik ini dapat memenuhi
harapan kedua belah pihak. Pihak pasien/pembayar merasa puas dengan tarif
layanan dan mutu layanan yang diterimanya, dan pihak pemberi layanan (dokter)
merasa puas dengan penghargaan yang pantas untuk kerja profesionalnya. Dasar
pemikiran ini yang dijadikan landasan untuk menjelaskan pasal 50 dan 53 Undang-
undang Praktik Kedokteran tentang hak/ kewajiban dokter dan pasien melalui
gambar berikut ini.
Dengan melihat hubungan antara kerja
dokter, waktu, produktivitas, kompensasi dan jasa medik, dapat dipahami bila
produktivitas dokter merupakan bagian yang tak terpisahkan (integral) dari
kompensasi, dan kompensasi dokter dirumuskan menjadi formula generik sebagai
berikut. (Griffith, 2001)
Perspektif
Dokter
Menarik untuk mengetahui perspektif
dokter tentang bagaimana seharusnya dokter dibayar dan apa alasannya. Berikut
ini berbagai pandangan para dokter tentang kompensasi yang dihimpun dari
berbagai sumber:
1.
Dokter
dibayar sepadan dengan pola pendidikannya yang lebih lama dari profesi lain,
dan sepadan dengan kewajiban belajar sepanjang hayat untuk memelihara dan
mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Kewajiban ini tidak ada pada
profesi lain.
2.
Dokter
dibayar lebih tinggi karena jam kerja dokter umumnya lebih tinggi daripada jam
kerja profesi lain.
3.
Dokter
yang menghasilkan pelayanan bermutu tinggi dibayar lebih banyak dibandingkan
dokter yang menghasilkan layanan berkualitas rendah.
4.
Dokter
yang menghasilkan kuantitas layanan banyak dibayar lebih banyak dibandingkan
dokter yang menghasilkan pelayanan sedikit.
5.
Pelayanan
berupa prosedur atau tindakan medis bukan satu-satunya faktor penentu bahwa
dokter dibayar lebih dari dokter lainnya.
6.
Cara
pembayaran profesi dokter tidak mengurangi otonomi profesi dokter dan tidak
membatasi kebebasan profesi dokter dalam memilih dan memberi layanan medik yang
dibutuhkan pasiennya.
7.
Kompensasi
yang diberikan pada profesi dokter bukan berdasarkan status kepegawaian,
kepangkatan atau institusi tempat dokter bekerja.
Perspektif
Kebijakan Publik
1.
Pembayaran
dokter hendaknya tidak menjadi hambatan bagi individu pasien untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
2.
Jasa
profesi dokter mempertimbangkan kemampuan masyarakat (ability to pay) dan kemauan masyarakat (willingness to pay) membayar pelayanan kesehatan, dan nilainya
wajar, masuk akal, dan berkeadilan.
3.
Keseimbangan
pendapatan antar-dokter dan antar-spesialisasi seyogianya dapat mendorong
terwujudnya piramida pelayanan kesehatan (primary,
secondary, and tertiary care).
4.
Keseimbangan
pendapatan dokter antar-wilayah dijaga agar pemerataan distribusi dokter di
Indonesia dapat terwujud.
5.
Kompensasi
dokter integral dengan produktivitas dokter dan dihitung berdasarkan kerja
dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dengan mempertimbangkan
karakteristik profesi dokter, waktu dan intensitas kerja dokter, dan kontribusi
dokter dalam pembangunan kesehatan.
6.
Metode
pembayaran dokter dapat mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas
pelayanan kedokteran bagi sebesar-besarnya kepentingan individu pasien, dokter
dan pembayar.
7.
Metode
untuk menentukan kompensasi dokter harus mempertimbangkan produktivitas dan
mutu layanan, mudah diterapkan, transparan dan akuntabel.
8.
Kompensasi
dokter dipengaruhi hukum ekonomi (supply
and demand), sehingga harus dikawal dengan regulasi untuk menjamin
ketersediaan dan distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia.
9.
Dokter
menerima kompensasi yang seimbang dengan trias peran dokter (agent of change, angent of development, and
agent of treatment) yang sangat strategis dalam pembangunan kesehatan
nasional.
JC Robinson, 2001 mengatakan ”There are many mechanisms for paying
physicians, some are good and some are bad. The worst are fee for service,
capitation and salary”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu
metode yang dapat memuaskan semua pihak. Ketiga metode yang saat ini digunakan
di banyak negara memiliki prinsip dasar yang berbeda.
Case
payment
memiliki kesamaan konsep dengan kapitasi dalam hal transfer risiko ke pemberi
pelayanan, tetapi pembayarannya per kasus atau per episode pelayanan.
Setiap metode membayar dokter ini
memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan dokter sebagai pelaku ekonomi
bereaksi sejalan dengan ciri setiap metode membayar yang diberlakukan. Dengan
demikian, pilihan metode sangat ditentukan oleh kondisi setempat dan apa yang
ingin dicapai. Ciri setiap metode tersebut dapat dilihat pada berikut.
1.
Salary
Metode salary merupakan metode yang paling sederhana. Dokter menerima
pembayaran yang nilainya tetap untuk jam kerja tertentu secara periodik
(umumnya bulanan) setelah melaksanakan tugas sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan. Nilai atau besar pendapatan telah ditentukan di muka berdasarkan
berbagai faktor, seperti golongan kepangkatan, masa kerja, dan kualifikasi
lainnya.
Pada dasarnya metode gaji adalah
membayar waktu kerja (time-based) dan
tidak bergantung pada produktivitas dan kualitas kerja yang dihasilkan dokter,
dalam arti banyak atau sedikitnya pasien yang dilayani tidak mempengaruhi
pendapatannya. Sifat alami yang melekat pada time-based adalah dokter tidak memperoleh insentif finansial bila
ia melayani pasien lebih banyak, melakukan tindakan medik lebih banyak atau
menghabiskan waktu lebih lama untuk kepentingan pasiennya.
Segi
positif metode salary
Bagi
dokter:
· Memberi
kepastian pendapatan bagi dokter, baik jumlah, waktu pembayaran, dan jam
kerjanya.
· Memberi autonomi
profesi yang luas karena dokter tidak dibatasi dalam menegakkan diagnosis dan
melaksanakan pengobatan.
· Dokter tidak
terdorong untuk memberikan pengobatan yang berlebihan, karena hal tersebut
tidak mengubah pendapatan mereka.
Bagi
pasien:
·
Pasien
cenderung menerima layanan dan intervensi yang diperlukan, serta tidak terjadi
pengobatan berlebihan yang tidak perlu.
·
Dokter
tidak punya alasan untuk menolak melayani pasien yang datang pada jam kerjanya.
Segi
negatif metode salary
Bagi
dokter:
· Dokter tidak
memiliki motivasi untuk bekerja secara maksimal atau mengerahkan seluruh
kemampuannya, karena jerih payahnya tidak mempengaruhi pendapatannya.
· Dokter tidak
memiliki kesadaran biaya karena apakah ia boros atau hemat dalam bekerja, hal
tersebut tidak mempengaruhi pendapatannya.
· Dokter tidak
memiliki motivasi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan atau kepuasan
pasien, karena hal ini tidak mempengaruhi pendapatan mereka.
· Dokter tidak
memiliki motivasi untuk membangun atau membina hubungan dekat dengan pasien
mereka, karena hal ini tidak mempengaruhi pendapatan mereka.
Bagi
pasien:
· Pasien mungkin
tidak menerima perhatian yang memadai dari dokter, yang dapat mempengaruhi
kepuasan pasien.
· Akses ke
pelayanan kesehatan terbatas dan terjadi antrian, kalau dokter ada tugas lain
dan tidak mau menambah waktu kerjanya.
· Metode gaji
membentuk mentalitas birokrat, tidak memotivasi produktivitas, dan mendorong
sikap santai saat bekerja.
· Sifatnya yang
terbuka menjadikan metode salary
rentan terhadap kritikan publik bila nilainya terlampau tinggi atau terlampau
rendah.
2. Fee For Service
Dalam metode fee for service, dokter dibayar berdasarkan jumlah atau jenis
pelayanan yang diberikan kepada pasien. Harga tiap layanan dapat ditetapkan di
muka (prospektif) yang nilainya sudah pasti (fixed), atau dapat pula nilainya tidak pasti (variable) yang ditentukan setelah pelayanan diberikan
(retrospektif). Dalam sistem fixed,
ada daftar tarif yang disepakati bersama yang menjadi dasar untuk menagih biaya
pelayanan. Dalam sistem variabel tidak ada kepastian berapa biaya pelayanan
yang harus dibayar, sehingga sistem ini pasien yang membayar langsung pada saat
pelayanan diberikan (out of pocket).
Pada dasarnya metode FFS adalah berbasis
pelayanan (service-based), yaitu
menghitung pendapatan dokter berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan
dokter. Sifat alami yang melekat pada FFS adalah dokter termotivasi memberikan
pelayanan terbaik dan cenderung berlebihan kepada pasiennya (supply induced demand).
Segi
positif metode FFS
Bagi
dokter:
· Dokter memiliki
autonomi yang besar dalam menentukan layanan klinis untuk pasiennya.
· Dokter mendapat
insentif finansial untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas pelayanan
kesehatan, sehingga dokter termotivasi untuk memberikan lebih banyak layanan
dan berusaha memenuhi keinginan dan memuaskan pasien.
Bagi
pasien:
· Pasien
kemungkinan besar akan mendapatkan perawatan pada tingkat dan kualitas yang
optimal, meskipun ada risiko menerima pelayanan berlebihan (over treatment) dan tindakan/ pencegahan
yang tidak perlu.
· Pasien yang
membutuhkan perawatan yang lebih banyak dan lebih rumit tidak ditolak/
dipersulit untuk memperoleh perawatan.
· Pasien mempunyai
kebebasan yang besar dalam memilih dan berganti dokter.
Segi
negatif metode FFS
Bagi
dokter:
· Dokter
termotivasi dan mendapat insentif finansial untuk meningkatkan volume layanan,
dan melakukan tindakan/prosedur yang mahal, cenderung berlebihan (over treatment). Ini akan membebani
pasien dan menyebabkan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan.
· Dokter cenderung
bekerja melebihi waktu normal, memberikan layanan yang cepat agar
produktivitasnya meningkat, dan hal ini menyebabkan hubungan dokter-pasien
tidak harmonis, pasien tidak puas, serta diagnosis dan pengobatan yang kurang
tepat.
· Dokter akan
kehilangan pemasukan sama sekali apabila ia berhalangan praktik (sakit,
pendidikan, liburan, atau halangan lainnya).
Bagi
pasien:
· FFS mendorong
terjadinya prosedur medik yang tidak perlu, pelayanan berulang, pilihan condong
ke tindakan pembedahan ketimbang pengobatan biasa, cenderung ke kuratif
ketimbang preventif, dan cenderung menerapkan prosedur yang belum teruji yang
dapat merugikan pasien.
· Mengingat pasien
cenderung percaya pada dokternya dan membuat keputusan berdasarkan nasihat
dokter, dokter cenderung menciptakan layanan untuk pasiennya (provider-induced demand) yang berakibat
pada peningkatan volume layanan bahkan oversupply
dan overuse
.
3.
Kapitasi
Metode kapitasi adalah metode pembayaran
di muka dengan fixed fee per peserta
per bulan. Dalam metode ini dokter dibayar berdasarkan jumlah peserta yang
mendaftar, tidak bergantung pada frekuensi kunjungan, intensitas dan
kompleksitas pelayanan, serta biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan peserta.
Besarnya nilai kapitasi dihitung berdasarkan jenis pelayanan yang disepakati
harus disediakan untuk peserta dengan mempertimbangkan pola pemanfaatan oleh
peserta, dan dikoreksi dengan faktor tertentu seperti umur dan jenis kelamin.
Berdasarkan perjanjian, dokter sepakat untuk memberikan pelayanan kepada pasien
selama satu periode, biasanya satu tahun, dan menanggung seluruh biaya terkait
dengan jenis pelayanan yang disepakati.
Pada dasarnya metode kapitasi adalah
pembayaran population-based. Sifat
alami metode kapitasi adalah pemberi layanan dilibatkan untuk menanggung risiko
finansial pembiayaan kesehatan peserta (risk-transfered).
Inheren dengan risk-transfered ini
adalah kecenderungan dokter untuk memilih peserta yang sehat (adverse selection) dan mengurangi
pelayanan yang menjadi hak peserta (under-serviced),
karena dokter dihadapkan pada risiko merugi bila di antara pesertanya banyak
yang memiliki faktor risiko dan penyakit yang membutuhkan pelayanan yang
kompleks, mahal, dan beban kerja tinggi. Makin kecil jumlah peserta makin besar
risiko yang dihadapi dokter. Idealnya jumlah peserta minimal 1000 orang.
Dalam metode kapitasi, pembayar dan
dokter harus sepakat tentang jenis layanan apa saja yang akan disediakan untuk
peserta dan yang biayanya dicakup dalam kapitasi. Jenis layanan ini harus
diuraikan dengan jelas, karena lingkup pelayanan ini akan menentukan beban
kerja dokter, tim dan perangkat kerja dokter, serta biaya praktek dokter.
Lingkup pelayanan ini juga harus diketahui peserta, agar peserta tidak menuntut
pelayanan yang bukan haknya.
Dalam metode kapitasi DLP mempunyai
daftar peserta (patient-roster/
patient-list/ capitation-list) yang menjadi tanggung jawabnya. Penentuan
peserta dapat diatur dengan 3 cara, yaitu:
· Memberi
kebebasan kepada peserta untuk memilih DLP yang ada di direktori asuradur (voluntary). Cara ini lazimnya diterapkan
di daerah pekotaan karena jumlah peserta besar, jumlah DLP tersebar merata, dan
akses transportasi tidak ada masalah. Adanya kebebasan ini memotivasi DLP untuk
bersaing menjaga mutu layanan dan kepuasan peserta.
· Asuradur
menetapkan ke DLP mana peserta harus berobat (appointed). Cara ini digunakan bila jumlah peserta terbatas dan
menjaga agar daftar peserta tidak di bawah batas minimum.
· Menyerahkan
pelayanan kesehatan seluruh penduduk di satu wilayah kepada seorang DLP (geographic capitation). Cara ini
lazimnya diterapkan di daerah terpencil.
Untuk menghindari adverse selection dan under-services,
pendapatan DLP dalam metode kapitasi diatur mengikuti sebuah formula yang
dibuat berdasarkan variabel yang sahih, seperti ciri demografi (jumlah
penduduk, umur, jenis kelamin), mortalitas dan morbiditas, pengalaman dan
kompetensi dokter. Formula ini digunakan untuk mengoreksi kapitasi agar risiko
terbagi merata, ada kesetaraan alokasi dana, dan dokter tidak merugi. Dengan
begitu, pendapatan DLP akan berbeda, meskipun memiliki jumlah peserta sama dan
kapitasi per peserta per tahun juga sama.
Metode kapitasi dapat diterapkan dalam
berbagai variasi sesuai dengan kondisi setempat dan tujuan yang ingin dicapai.
Variasi ini terjadi karena perbedaan lingkup pelayanan, sehingga ada kapitasi
lengkap dan kapitasi parsial. Dari pengelolaan dan pembayaran, dikenal kapitasi
dengan wildhold dan kapitasi tanpa wildhold, atau kapitasi dengan risk-pool dan kapitasi tanpa risk-pool. Dua cara terakhir ini lazim diterapkan
untuk mengurangi risiko dan memotivasi dokter mengendalikan suatu jenis
pelayanan, salah satunya rujukan.
Metode kapitasi lebih mudah diterapkan
di strata primer dan lebih mudah diterima oleh DLP ketimbang dokter spesialis,
mengingat konsep kapitasi dan konsep pelayanan primer dapat dikatakan sejalan.
Kunjungan ke DLP sebagian besar mengenai daily
problems, yang probabilitas kejadiannya tinggi. Cara dan sumber daya untuk
mengatasi masalah ini juga tidak terlalu bervariasi, dan biayanya mudah
diprediksi. Hal-hal ini yang membedakannya dengan pelayanan di strata sekunder/
tersier yang umumnya memiliki probalilitas relatif kecil dan variasi
pembiayaannya sangat beragam, meskipun kadang diagnosis sama.
Segi
positif metode kapitasi
Bagi
dokter:
· Dokter mempunyai
kepastian berapa pendapatannya dalam satu periode dan untuk mengamankan
pendapatannya dokter akan berupaya agar peserta yang terdaftar dalam komunitas
binannya merasa puas dengan layanannya dan tidak pindah ke dokter lain.
· Dokter terdorong
bekerja efisien dan rasional, karena setiap layanan yang diberikan kepada
pasien menjadi biaya yang harus ditanggung dokter. Oleh sebab itu dokter
berusaha meresepkan obat generik, serta menghindari tindakan yang mahal dan
kunjungan berulang untuk meminimalkan biaya pelayanan.
· Dokter terdorong
untuk melakukan upaya promotif-preventif seperti edukasi pola hidup sehat,
diet, kebugaran, berhenti merokok, dan upaya lain yang dapat meningkatkan
status kesehatan dan mengedalikan biaya kesehatan di kemudian hari, yang pada
gilirannya mengamankan pendapatan dokter.
· Dokter yang
praktik bersama melayani banyak peserta akan lebih efisien dan pendapatannya
lebih aman ketimbang dokter yang berpraktik sendiri. Dengan bekerja dalam
kelompok dokter berbagi risiko, pengeluaran, dan perangkat kerja.
Bagi
pasien:
· Pasien cenderung
mendapat pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang
berlebihan jarang terjadi, karena dokter tidak mendapat insentif finansial
untuk melakukan tindakan yang berlebihan (over
treatment).
· Hubungan dokter
dengan individu peserta, atau antara sekelompok dokter dengan komunitas peserta
menjadi lebih baik dan bersinambung dan hal ini memudahkan dokter
mengidentifikasi masalah kesehatan peserta.
· Perencanaan dan
pengendalian biaya kesehatan suatu populasi lebih mudah mengingat pengeluaran
biaya identik dengan besar populasi yang dilayani dikalikan nilai kapitasi yang
pasti.
Segi
negatif metode kapitasi
Bagi
dokter:
· Dokter cenderung
untuk memilih pasien yang relatif sehat dan yang berusia muda. (cream skimming/ cherry picking). Untuk
mengamankan biaya operasionalnya dokter berusaha menolak pasien yang memiliki
risiko tinggi dan memerlukan pelayanan yang banyak dan rumit (adverse selection)
· Dokter
termotivasi untuk membatasi jumlah layanan atau mengurangi layanan yang
seharusnya diberikan kepada pasien (under-servicing)
dan tidak memberikan pelayanan berkualitas tinggi yang biasanya mahal (under-quality) karena ingin meningkatkan
pendapatannya.
· Dokter
termotivasi untuk merujuk pasien berlebihan ke strata sekunder (over-referral), seperti ke spesialis
atau rumah sakit untuk menghemat biasa operasionalnya sendiri.
Bagi
pasien:
· Pasien bisa
mendapatkan pelayanan yang kurang optimal (under
service), karena dokter cenderung menekan biaya sehingga mengorbankan
kualitas dan kuantitas pelayanan.
· Pasien tidak
memiliki kebebasan memilih dokter dan hanya bisa berobat pada dokter atau
kelompok dokter yang telah ditentukan.
· Pasien yang
memiliki banyak masalah kesehatan dan pengobatannya kompleks dan membutuhkan
banyak biaya cenderung dihindari dari daftar peserta (adverse selection).
.
Dalam era JKN karena faskes dilibatkan
dalam menanggung risiko finansial, maka ada kecenderungan faskes akan menata
ulang tata cara pelayanan pasiennya dan cara membayar dokternya. Kondisi ini
akan mendorong faskes untuk membuat suatu sistem remunerasi untuk seluruh
personilnya, termasuk sistem remunerasi dokter.
Penerapan JKN membutuhkan sistem
pelayanan kesehatan berorientasi pelayanan primer. Dalam sistem ini dapat
dipastikan mayoritas dokter Indonesia adalah DLP. DLP ditempatkan sebagai
fondasi sistem pelayanan kesehatan dan harus tersedia merata di seluruh tanah
air, maka harus ada kebijakan yang menjadikan DLP sebagai profesi yang atraktif
dari segi karir, pendapatan, dan perannya di masyarakat. Salah satu kebijakan
untuk menjamin eksistensi dokter layanan primer adalah jaminan pendapatan yang
relatif tidak jauh berbeda dengan pendapatan dokter spesialis.
Keuntungan terbesar metode gaji terletak
pada kemudahan dan kesederhanaan administrasinya, sehingga biaya personil dapat
direncanakan di muka, Sedangkan kerugian terbesar adalah tidak ada insentif
bagi dokter untuk bekerja lebih baik dan lebih efisien.
Metode FFS mendorong peningkatan
produktivitas sistem pelayanan kesehatan, meskipun sejalan dengan itu
menghabiskan biaya yang lebih besar. Di negara yang menerapkan sistem ini,
terbukti biaya kesehatan terus meningkat. Oleh sebab itu penerapan metode FFS
harus diimbangi dengan regulasi untuk mengurangi segi negatif dan memperkuat
segi positifnya
Kapitasi adalah metode pembayaran dokter
yang tepat untuk meningkatkan efisiensi biaya, akses dan kualitas perawatan,
dan kepuasan pasien. Namun metode ini perlu dinaungi rambu-rambu regulasi untuk
menghilangkan sisi negatifnya, antara lain dengan langkah berikut:
· Membuat
kebijakan open enrollment pada suatu
wilayah geografis atau wilayah administratif pemerintahan. Kebijakan ini dapat
mencegah dokter memilih pasien yang relatif sehat saja ke dalam daftar peserta
mereka. Sebaliknya ini juga menguntungkan dokter karena mengurangi risiko
daftar peserta didominasi oleh pasien yang relatif kurang sehat.
· Membuat
kebijakan yang dapat mendorong persaingan antar-dokter. Kalau pasien secara
berkala diberi kesempatan untuk memilih dokter, dokter akan menjaga kualitas
dan kuantitas pelayanan mereka agar pasiennya tidak pindah ke dokter lain.
· Menetapkan paket
layanan yang memasukkan banyak pelayanan yang ada pada tingkat sekunder. Misalnya
kalau kunjungan ke spesialis termasuk dalam paket layanan kapitasi seorang
dokter, maka ia tidak terdorong untuk merujuk pasiennya ke spesialis.
· Membuat sebuah
sistem pengawasan dan pengendalian mutu untuk mencegah dokter mengorbankan
kualitas dalam memaksimalkan pendapatannya.
Penerapan metode kapitasi bisa mudah dan
bisa juga rumit, karena bergantung pada tujuan yang ingin dicapai, data yang
tersedia, dan kesiapan regulasinya. Setidaknya harus ada kepastian pada dua
hal, yaitu:
· data besaran
nilai kapitasi per peserta per bulan dan data komponen biaya yang membentuk
nilai kapitasi tersebut, serta data demografi, morbiditas dan utilisasi
populasi.
· formula yang
disepakati untuk membayar DLP.
Dalam kondisi ini Pemerintah telah
menetapkan satu metode, yaitu kapitasi, sebagai cara membayar fasilitas
kesehatan primer. Tepatkah kebijakan ini mengingat banyak negara telah
meninggalkan kebijakan hanya menggunakan satu metode pembayaran? Negara-negara
OECD misalnya mulai menerapkan metode campuran untuk memanfaatkan segi positif
dari setiap metode pembayaran dokter, dan terbukti hasil lebih baik.
Metode membayar dokter tidak berdiri
sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai isu strategis. Berbagai isu tersebut
menunjukkan bahwa menerapan suatu metode membayar dokter harus disertai pula
dengan menyelesaikan berbagai masalah mendasar tersebut. Dengan demikian, kita
melihat metode membayar dokter dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai
bagian dari upaya membangun sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer
untuk menopang penerapan JKN. Sistem ini harus mampu menjangkau seluruh
penduduk di wilayah NKRI. Dari konteks ini, diyakini bahwa penentu keberhasilan
JKN adalah 5 faktor berikut ini, yaitu :
1.
ketersediaan
fasilitas primer yang merata di seluruh wilayah NKRI
2.
ketersediaan
Dokter Layanan Primer yang handal sebagai gatekeeper
dan tersebar merata di seluruh NKRI
3.
rayonisasi/
regionalisasi fasilitas kesehatan
4.
iuran
JKN yaang memenuhi asas kepatutan dan asas ekonomi
5.
masyarakat
menerapkan paradigma sehat (UKM)
Dengan mempertimbangkan keberagaman dan
keunikan antar- dan intra-wilayah di Indonesia, faktor penentu keberhasilan
JKN, dan peranan BPJS, maka timbul pemikiran untuk mencari metode membayar
dokter yang dimanfaatkan untuk:
·
mendorong
penyebaran dan pemerataan dokter ke seluruh wilayah NKRI
·
meningkatkan
kompetensi DLP
·
mengurangi
kesenjangan pendapatan antar dokter (terlebih dokter umum dan spesialis)
·
meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat
Berdasarkan data riskesdas yang sudah
dicantumkan di atas, dengan proporsi masyarakat yang tidak memiliki jaminan
kesehatan akan sangat memberatkan apabila mereka harus menanggung biaya medis
dan harus mengeluarkan biaya sendiri yang notabene sangat besar dan dokter
memberikan pelayanan medik kepada pasien berdasarkan insentif, bukan
berdasarkan kebutuhan sehingga mengakibatkan peningkatan biaya pelayanan
kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan pelayanan kesehatan. Dengan
mereduksi proporsi masyarakat yang
membayar pelayanan dokter menggunakan metode fee for service, maka hal ini juga akan mereduksi peluang terjadinya konflik-konflik bioetika
ketika para dokter melayani supplier
induced demand. Untuk mengatasinya, penting untuk memperbaiki sistem
kesehatan. Sistem kesehatan sebaiknya mengurangi pendapatan dokter yang berasal
dari unsur fee-for-service dengan
menguatkan asuransi kesehatan (Trisnantoro, 2007).
Dasar pemikiran ini mengerucut menjadi
sebuah metode membayar dokter yang disebut sebagai metode Sandwich.
Metode Sandwich adalah metode pembayaran
dokter yang menggabungkan sekaligus tiga metode membayar dokter, yaitu: salary, capitation, dan fee for
service menjadi satu metode yang dipayungi filosofi pay for performance.
Disebut sebagai metode Sandwich karena
metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu
a.
komponen
basik,
b.
komponen
untuk menghargai tanggung jawab dan beban kerja dokter, dan
c.
komponen
untuk memberi insentif atas partisipasi dokter mendukung pencapaian target
pembangunan kesehatan nasional
Penerapan model Sandwich tidak
membutuhkan administrasi yang sulit dan tidak memerlukan persiapan yang rumit.
Yang dibutuhkan adalah kebijakan nasional yang menetapkan profesi dokter
sebagai sumber daya manusia strategis yang eksistensinya harus dijamin negara.
Ketetapan ini pada hakekatnya melengkapi UU Praktik Kedokteran dan UU
Pendidikan Kedokteran.
Metode Sandwich dapat digunakan untuk
menyusun sistem remunerasi dokter di suatu faskes yang memiliki dua dokter atau
lebih, dengan tujuan untuk menciptakan transparansi dalam membagi pendapatan
faskes.
Metode Sandwich juga dapat diterapkan di
puskesmas yang dikontrak BPJS. Dalam hal ini gaji dokter PNS yang mengacu pada
PGPNS dianggap sebagai komponen satu. Proporsi jasa pelayanan dari kapitasi
BPJS yang menjadi hak dokter digunakan untuk membayar komponen dua. Sedangkan
pembayaran komponen tiga dapat disisihkan dari kapitasi BPJS yang diterima
puskesmas, atau bersumber dari pengelola program tingkat nasional, atau dana
khusus di BPJS yang dialokasikan untuk membiayai program nasional di luar
kapitasi. Jadi setiap puskesmas, terutama yang sudah menjadi BLUD, dapat dengan
mudah menerapkan prinsip-prinsip metode Sandwich yang disesuaikan dengan
kondisi setempat.
Metode Sandwich dapat digunakan untuk
menyusun sistem remunerasi dokter di tingkat nasional. Dalam hal ini diperlukan
kebijakan tentang standar formula yang digunakan, standar nilai, sumber untuk membiayai,
serta tatacara pengelolaannya. Metode Sandwich cukup fleksibel, sehingga
penerapannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan tujuan
yang ingin dicapai. Misalnya:
· Menetapkan
komponen 1 (untuk membayar kebutuhan dasar profesi dokter) menjadi tanggung
jawab pemerintah. Penerapannya dapat berupa kebijakan tentang status dan pendapatan
dokter yang harus diikuti institusi yang mempekerjakan dokter, atau dapat lebih
jauh lagi seperti komponen 1 menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah
yang mempekerjakan dokter tersebut.
· Menetapkan
komponen 2 (kompensasi untuk tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter)
menjadi tanggung jawab institusi tempat dokter bekerja, dan sumber biayanya dari
pendapatan faskes, termasuk pendapatan dari BPJS.
· Menetapkan
komponen 3 (insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional) sumber
biayanya dari pemerintah, atau dapat pula bersumber dari dana khusus BPJS untuk
membiayai program kesehatan nasional.
· Mewajibkan semua
fasilitas kesehatan menggunakan metode Sandwich sebagai acuan menyusun
remunerasi dokter, dan menggunakan standar nilai yang ditetapkan pemerintah.
Penerapan metode Sandwich secara
nasional akan menjadikan karir dan pendapatan dokter menjadi lebih transparan
dan lebih pasti. Hal ini akan sangat membantu para dokter untuk merencanakan
karirnya, misalnya apakah akan membuka praktik di suatu daerah terpencil atau
sebaiknya menjadi pegawai gajian saja (PNS). Para dokter pun diharapkan
termotivasi meningkatkan kompetensi dan aktif berpartisipasi melaksanakan
program nasional, karena hal ini berdampak langsung pada peningkatan
pendapatannya.
Pihak faskes yang mempekerjakan dokter
dan BPJS pun akan memperoleh manfaat, karena penerapan metode Sandwich ini
menyebabkan biaya yang dibutuhkan untuk membayar okter menjadi lebih pasti dan
tidak terlalu fluktuatif, dan hal ini akan memudahkan proses perencanaan.
Pencapaian target program nasional diharapkan juga meningkat, mengingat besarnya
populasi yang dicakup oleh DLP dan era JKN nanti.
Metode Sandwich yang dirancang untuk
membayar dokter layanan primer ini, dapat pula diterapkan untuk membayar dokter
spesialis. Penyesuaian yang harus dilakukan adalah pada komponen 2, yaitu
komponen untuk membayar kompensasi untuk tanggung jawab, beban kerja dan
kinerja dokter. Dengan mempertimbangkan cara kerja dan pola pelayanan dokter spesialis,
metode yang tepat untuk membayar komponen 2 ini adalah metode FFS, namun
pembayarannya bukan berdasarkan tarif jasa medik, tapi berbasis relative value unit (RVU) yang diadopsi
dari konsep Resource Based Relative Value
Scale (RBRVS). Jadi metode Sandwich
untuk membayar dokter spesialis terdiri dari 3 komponen:
· komponen 1
(sebagai kompensasi kebutuhan dasar profesi dokter), berbasis salary,
· komponen 2
(sebagai kompensasi tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter), berbasis relative value unit, dan
· komponen 3
(sebagai insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional), berbasis fee for service reimbursement.
Metode sandwich ini bisa menjadi
alternatif metode pembayaran dokter yang baik di era JKN saat ini. Dengan
penggabungan ini keunggulan dari setiap metode dimanfaatkan dan kelemahannya
dieliminasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013
Chawla,
Mukesh at al. Paying the Physician :
Review of Different Methods. Boston : Department of Population and
International Health Harvard School of Public Health, 1997.
Fujisawa,
Rie et al. The Remuneration Of General Practitioners
And Specialists In 14 OECD Countries: What Are The Factors Influencing
Variations Across Countries?. 2008
Gosden
T et al. Capitation, salary,
fee-for-service and mixed systems of payment: effects on the behaviour of
primary care physicians (Review). Wiley, 2006.
Grignon,
Michel et al. Influence of Physician Payment
Methods on the Efficiency of the Health Care System. Commission on the
Future of Health Care in Canada, 2002.
Hsiao
WC, Braun P, Becker ER, et al: The Resource-Based Relative Value Scale – Toward
the development of an alternative physician payment system. JAMA 1987; 258: 799-802.
Robinson,
James C. Theory and Practice in the
Design of Physician Payment Incentives. Berkeley : University of
California, 2001.
Soetono,
Gatot. Konsep IDI Tentang Jasa Pelayanan
Dokter. Jakarta : IDI, 2008.
Thabrany,
H. Current health insurance coverage in
Indonesia. Paper presented in the Asia- Pacific Summit on Health Insurance and
Managed Care, Jakarta May 22-26, 2002.
The
World Health Report 2000. Health Systems:
Improving Performance. WHO, 2000.
Trisnantoro
L. 2007. Sistem Pembayaran Dokter Mesti Diperbaiki http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=4450&tbl=cakrawala
(21 Desember 2013)