Tingkat kepercayaan masyarakat dibangun berdasarkan pemahaman akan nilai dan perilaku profesi kesehatan itu sendiri. Dimana saat ini terjadi kerancuan penempatan domain bagi bidang kesehatan. Para pelaku profesi seolah harus menutup mata dengan habitus kesehatan karena berbagai kepentingan, terutama kepentingan ekonomi yang telah begitu diracuni oleh paham kapitalisme yang merusak domain kesehatan itu sendiri. Oleh karena itu bidang kesehatan mulai kehilangan sisi kemanusiaan dan empatinya di dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat. Kualitas pelayanan lebih sering dikaitkan dengan berapa nilai rupiah yang sanggup dibayar oleh pasien dan bukan lagi didasarkan atas kasih dan ketulusan yang sering menjadi ikon utama di dalam penyelenggaraan kesehatan.
Nilai moral dan etika yang seharusnya menjadi pegangan utama para pelaku profesi seringkali dikalahkan dengan jumlah konsesi yang bisa diterima dari pabrik-pabrik farmasi. Hal ini tentu saja akan membuat masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan pada pelaku profesi yang seolah menjadi sales representative para pengusaha obat dan teknologi kedokteran.
Nilai dan moral yang semestinya menjadi pedoman atas problematika yang terjadi ini karena keuniversalannya tidak akan lekang dimakan waktu. Segala wajah dunia boleh berubah, tetapi penghormatan pada makhluk hidup insani harus tetap dipertahankan sampai akhir, artinya setiap pelaku profesi kesehatan harus mempertahankan nilai kemanusiaan di dalam konteks etika yang benar. Fitrah keberadaan profesi ini adalah untuk memperjuangkan tingkat kehidupan yang lebih baik dengan meletakkan penghormatan tertinggi bagi harkat dan martabat makhluk insani yaitu manusia. Sehingga manusia terbebas dari rasa sakit, mampu hidup lebih baik dan dapat mengusahakan kesejahteraan bersama.
Antara Etik, Disiplin, dan Hukum ada beberapa bagian tertentu yang saling tindih (overlapping), karena ada yang dianggap perbuatan yang melanggar Disiplin ternyata juga sudah melanggar bidang Etik dan juga bisa melanggar bidamg Hukum. Semua tergantung kasusnya.
Suatu tindakan yang menyangkut Dugaan Malpraktek Medik (DMM) misalnya yang menyangkut kelalaian atau kekurangan kemampuan profesi, termasuk bidang Disiplin. Namun juga sekaligus melanggar Kode Etik Kedokteran. (Tahun 1983 Lord Chief Coleridge dalam kasus R. V. Instan mengatakan bahwa : adalah tidak tepat untuk mengatakan bahwa setiap kewajiban moral terkait suatu kewajiban hukum, tetapi setiap kewajiban hukum adalah berdasarkan kewajiban moral “It would not be correct to say that every moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded on a moral obligation).
Di dalam bidang Kedokteran, kalau kita melihat pada General Medical Council, yang termasuk perbuatan pelanggaran disiplin terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
a. Medical Negligence,
Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau justru tidak melakukan apa yang teman sejawat lain melakukan (penegakan diagnosis, memberikan terapi kepada pasien yang belum dilihat dan diperiksa dan mengakibatkan penyakit pasien tersebut bertambah parah)
b. Serious Professional Misconduct,
Termasuk tindakan mengadakan “afair” dengan pasien, pengangkatan anggota tubuh yang keliru, menelantarkan pasien sehingga menjadi cacat atau meninggal
Sanksi Disiplin yang dijatuhkan oleh GMC bisa berbentuk :
1. Tidak dipersalahkan, karena dianggap tidak melanggar disiplin
2. Dianggap kurang keterampilan, sehingga diwajibkan untuk menjalankan training di suatu lembaga pendidikan untuk jangka waktu tertentu
3. Dianggap melanggar disiplin dan dijatuhkan sanksi dengan tidak diperbolehkan menjalankan praktek untuk jangka waktu tertentu
4. Pelanggarannya dinilai sangat berat, sehingga mencemarkan nama baik profesi kedokteran dan sebagai hukuman namanya dicoret dari Register dan tidak diperbolehkan menjalankan praktek di negara itu
Namun, untuk bidang hukum, masih harus dilihat seberapa jauh dan seberapa besar sifat kelalaian itu.
a. Untuk pidana, harus ada kelalaian berat (gross negligence)
b. Untuk perdata, harus ada kerugian dalam bentuk financial yang kesemuanya harus dibuktikan dulu oleh si penggugat
Anglo Saxon mempersyaratkan harus ada unsure 4-D :
1. Duty (kewajiban)
2. Dereliction of Duty (penelantaran kewajiban)
3. Damage (kerugian)
4. Direct relationship (hubungan penyebab langsung)
Iptek Medik dan Bio-Etika (Religion without science is lame, science without religion is blind)
1. Euthanasia
Tanggal 30 November 1993, Parlemen Belanda telah memberikan pedoman untuk para dokter dapat memberikan injeksi mematikan (lethal injection) kepada para pasien yang tidak ada harapan untuk sembuh kembali dan yang sedang mengalami penderitaan kesakitan yang tidak tertahankan dan juga minta supaya diakhiri saja penderitaannya.
2. Physician Assisted Suicide
American Medical Association pada tahun 1986 telah memberikan suatu policy bahwa seorang dokter secara etis dapat menghentikan semua tindakan terapi yang diberikan untuk menyambung nyawa (termasuk makanan dan minuman terhadap seorang pasien yang sedang berada dalam irreversible coma). Namun policy ini bersifat ambigu, karena dikatakan pula bahwa “seorang dokter tidak boleh dengan sengaja menyebabkan kematian”
3. Definisi Mati
Indikasi mati sudah jelas, yaitu “tidak adanya detak jantung dan tanda-tanda pernapasan. Namun dengan perkembangan iptek seperti diciptakannya ventilator dan heart-lung machine memungkinkan para dokter untuk secara artificial mempertahankan fungsi jantung dan paru, namun sebagai akibatnya tanda-tanda jelas dari kematian semakin kabur.
Para ahli etika dalam bidang medic sedang berusaha mencari suatu rumusan baru tentang kematian (jika pasien sudah berada dalam “vegetative stage”), yang menyangkut dua hal :
· Bagaimana harus diatur agar pasien yang sakit berat memperoleh hak untuk hidupnya terus dipertahankan dengan alat teknologi modern.
· Para pasien yang secara teknis dapat dikatakan sudah mati, tidak harus lagi terus-menerus dipertahankan hidupnya oleh alat bantu pernapasan tersebut.
4. Masalah lain (Saat Mulai Kehidupan, Hemodialisis, masalah fertilitas/ reproductive medicine, Withholding or withdrawing life support treatment, DNR-Do Not Resuscitate Order, Slow Code, Living Will, hak otonomi pasien dengan Inform Consent, dan Rahasia Medis Pasien juga merupakan masalah yang actual untuk dibahas bersama)
“The Element of Quality Care for Patient Last Phase of Life” terdapat pokok-pokok pembahasan yang penting :
- Bahwa preferensi untuk menahan atau menghentikan intervensi untuk mempertahankan kehidupan dihormati
- Bahwa para dokter akan merawat mereka terus, walaupun pindah ke fasilitas lainnya
- Bahwa kehormatan pasien merupakan prioritas
- Bahwa beban yang ditanggung keluarga diusahakan seringan mungkin
- Bahwa akan diberikan perhatian terhadap keinginan dan tujuan pasien
- Bahwa bantuan akan diberikan kepada keluarganya sesudah pasien meninggal .
n The preference for withholding or withdrawl life-sustaining intervention will be honored; that their physician will continue to care for them, even if transferred to another facility; that patient dignity will be given the personal goals of the dying person, and that support will be given to the family after the patient death.
n Whether the intervention be less complex (such as antibiotics or artificial nutrition or hydration) or complex and more invasive (such as dialysis or mechanical intervention) and whether the situation involves imminent or more distant dying, patient preferences regarding withholding or withdrawing intervention should be honored in accordance with the legally and ethically established rights of patients.
Tampaknya etika sudah menjadi tidak berdaya menghadapi perubahan cepat dan drastic dari teknologi medic. Iptek telah memberikan dampaknya terhadap dua sisi. Secara positif iptek menemukan cara-cara mendiagnosa dan menegakkan terapi yang dulu belum bisa. Namun, secara negative menimbulkan persoalan baru yang meminta pemecahan lagi. Selain itu patokan dan parameter yang dulu sudah jelas, kini menjadi serba samar, sedangkan pedoman baru belum ditentukan. Karena Sumpah Hypocrates ternyata sudah tidak dapat menampung lagi isu-isu baru yang dewasa ini menjadi sangat penting, maka American Medical Association telah membuat suatu pedoman “Principle of Medical Ethics” yang memuat tujuh pokok untuk menampung hal-hal baru sebaga pedoman “principle of conduct” yang salah satunya menyatakan bahwa setiap pasien dapat mengharapkan memperoleh mutu perawatan yang berkualitas pada akhir hajatnya.
Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige daad, -- Anglo Saxon : Tort)
Perumusan Hemeldt dan Mackert merumuskan tort sebagai : ”A tort is a legal or civil wrong committed by one person against the person or property of another”
Creighton merumuskan : “A tort is a legal wrong, committed against a person or property independent of contract, which renders the person who commits it liable for damages in a civil action.”
Tanggung jawab terhadap perbuatan Tort jika dilihat dari sifat perbuatannya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Tort yang dilakukan dengan sengaja (intentional tort)
b. Tort yang berdasarkan kelalaian (negligence)
c. Strict liability/ Tort liability without fault, yaitu tanggung jawab tort tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesalahan/ kelalaian. Dalam hal ini undang-unfang tidak mempersoalkan apakah ada atau tidaknya kesengajaan/ kelalaian pada pihak si pelaku
Kebanyakan peristiwa yang menimbulkan tanggung jawab adalah yang menyangkut masalah kelalaian. Definisi kelalaian (negligence) dari Alderson B (1856) “Negligence is the omission to do something which a reasonable man, guided upon those consideration which ordinary regulate the conduct of human affairs, would do, or doing something which a prudent and reasonable person man would not do.”
Perumusan keputusan pengadilan Bost v. Riley, Hammon and Catamba Memorial Hospital, 1979 berbunyi : “Negligence is the lack of ordinary care. It is the failure to do what a reasonable careful and prudent person would have done, or the doing of something which a reasonable person would not have done on the occasion in question.”
Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dalam konteks hubungan dokter-pasien misalnya:
- Penyentuhan/ pencederaan/ operasi tanpa izin (assault and battery)
- Penahanan pasien di rumah sakit secara tidak sah (false imprisonment)
- Pelanggaran terhadap privacy seseorang (invasion of privacy)
- Penelantaran (abandonment)
- Pencemaran nama baik (libel and slander)
Berdasarkan ajaran yang terdapat di negara Anglo Saxon, ada penggolongan tanggung jawab hukum yang lainnya, yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Fault Liability)
Berdasarkan tiga prinsip :
1. Any act by one person that causes damage to another shall make the person who causes the damage liable to the payment of compensation,
2. A person shall be liable not only for damage caused deliberately but also for damage caused by his negligence or carelessness,
3. A person shall be deemed liable not only for damages caused by his own acts, but also for damages caused by the acts of persons for whom he is responsible or by things of which he has custody.
(jika diperhatikan dan dibandingkan hukumnya, maka perumusan ini sangat mirip dengan perumusan yurisprudensi KUH Perdata Indonesia pasal 1365, 1366, 1367)
b. Tanggung jawab berdasarkan resiko yang timbul (Risk Liability)
Berdasarkan system ini sang pasien hanya harus menunjukkan adanya suatu hubungan antara si pelaku yang mengakibatkan kerugian dengan kerugian yang diderita pasien tersebut (biasanya berkaitan dengan obat-obatan ataupun peralatan medik).
Prinsip Rangka Pokok Hukum Medik
Hukum dan Medik seperti air dan minyak yang kadangkala tidak bisa bercampur dengan baik. (“Like Oil and Water, the methods of thinking in law and medicine do not mix well”). Sementara ini masih terjadi salah pengertian antara pihak Hukum dan Medik. Hal ini bisa timbul karena kekurangan apresiasi dan ketidaktahuan dari prinsip masing-masing. Maka harus dicari pemecahannya, suatu cara yang baik untuk menyatukan kedua disiplin Hukum dan disiplin Medik. Salah satu jalan adalah dalam suatu bentuk KERJA-SAMA (bukan peleburan, bukan dijadikan emulsion). Ini berarti bahwa pada prinsipnya masing-masing disiplin Ilmu tetap mempertahankan Asas, Prinsip, Tolak ukur, dan wilayah kekuasaan masing-masing yang berbeda dan yang tidak bisa dicampuri oleh disiplin yang satu kepada yang lain, tetapi dalam kerja sama kesatuan. Harus ada pembatasan wilayah antara Hukum dan Medik, karena kalau tidak demikian, maka bisa timbul : (Bailey “Methods of Thinking in Law and Medicine”)
· Dominasi salah satu disiplin terhadap yang lain (yang bukan bidangnya)
· Multi tafsir yang bisa mengacaukan (dan gejala ini sudah mulai tampak di dalam praktek)
“Evidence-based Medicine” (EBM) menjembatani Ilmu Kedokteran dan Hukum. Karena :
· EBM mulai dibutuhkan juga oleh seorang Hakim untuk menentukan apakah suatu pengobatan tertentu sudah benar dalam persidangan
· Diperlukan “ilmu pengetahuan” dalam bentuk evidence di belakang pertimbangan suatu testimony saksi ahli.
(JAMA No,283 No. 21, June 2000)
Di Indonesia peliknya adalah karena kita belum mempunyai Hukum Medik dalam arti kata yang lengkap dan dapat dipakai. Karena sepengetahuan saya baru ada beberapa saja keputusan hakim yang memuat pertimbangannya dan yang dapat kita kumpulkan dan dijadikan Yurisprudensi tetap karena kepustakaan yang membahas hukum medik dan teori-teorinya masih sangat langka di Indonesia. Berbeda halnya dengan bahan-bahan, literatur, serta yurispudensi dari luar negeri. Hanya dengan mempelajari dan memakai yurisprudensi serta literature luar negeri merupakan satu-satunya bantuan penting serta pedoman untuk dapat membentuk Hukum Medik Indonesia. Tidak akan menjadi halangan untuk mempelajari dan menyaringnya dengan filter kebudayaan kita. Yang cocok dapat dipakai, yang kurang cocok disesuaikan dengan social budaya kita. Lagipula bukanlah ilmu pengetahuan medik berasal dan bermuara dari satu sumber, yaitu Hippocrates.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar