Pembahasan mengenai ideologi dalam kebijakan kesehatan di Indonesia ternyata menarik. Aspek ideologi nampaknya cukup berperan dalam penyusunan kebijakan kesehatan di Indonesia. Sebenarnya ideologi apa yang dianut oleh pemerintah Indonesia dalam penerapan kebijakan kesehatannya? Apakah sosialisme, kapitalisme, etatisme, neoliberal, atau Pancasila? Sebuah pertanyaan yang cukup sulit dijawab karena ternyata dalam perjalanan sejarah terjadi pergeseran bahkan pencampuran berbagai ideologi. Hal ini nampak contohnya dalam kebijakan pendirian rumah sakit swasta. Sejak jaman Belanda, pihak swasta diberi peran yang cukup signifikan untuk turut serta dalam membangun rumah sakit. Dengan demikian, sejak awal berdirinya, sebenarnya Indonesia sudah mempunyai ideologi yang berbasis pasar. Hal ini juga tampak dari adanya kelas-kelas (kelas 1, kelas 2 dst) dalam rumah sakit yang menunjukkan adanya pengakuan akan struktur masyarakat yang didasarkan pada hierarki sosial ekonomi.
Ideologi berbasis pasar ini semakin tampak pada masa orde baru yang semakin lama semakin mengurangi peran pemerintah. Contohnya berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan peran serta masyarakat dalam membiayai pengobatan sehingga RS boleh memungut tarif dari masyarakat langsung. Dari tahun ke tahun, tampak bahwa pembangunan RS swasta yang berbentuk PT semakin meningkat. Antara tahun 2002 sampai dengan 2008, ada penambahan 25 RS berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk Yayasan. Sebaliknya hanya 5 PT berubah bentuk menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS berbentuk PT ini melayani kelompok pasar menengah atas.
Namun menarik untuk diamati bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, terjadi penguatan peran pemerintah yang mencerminkan ideologi yang tidak menyerahkan ke pasar. Sebagai contoh adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah pusat dan berfungsi “membeli” premi asuransi kesehatan bagi orang miskin. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah merasa perlu untuk lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan.
Adanya pemilihan presiden dan kepala daerah langsung nampaknya juga berpengaruh terhadap kebijakan yang cenderung mengandung ciri-ciri “sosialis” ini. Hal ini nampak pada janji janji kampanye yang seringkali berupa “pengobatan gratis”. Kemudian disusul dengan adanya program Jaminan Persalinan (jampersal) yang bahkan membolehkan mereka yang tidak miskin untuk digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di kelas 3 RS yang dikontrak. Pada saat yang sama Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan menggulirkan 7 Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu:
1. revitalisasi pelayanan kesehatan,
2. ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu sumberdaya manusia,
3. mengupayakan ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektifitas, keterjangkauan obat, vaksin dan alkes,
4. jaminan kesehatan,
5. keberpihakan kepada daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK),
6. reformasi birokrasi dan
7. world class health care.
Bila dicermati dari ketujuh reformasi ini terdapat ideologi berbasis pasar dan sosialis sekaligus. Butir keberpihakan pada daerah tertinggal dan pemerataan mencerminkan ideologi sosial liberal namun “world class health care” cenderung berbasis pada intervensi pemerintah terhadap pasar dengan cara memberikan subsidi agar mampu bersaing dalam pasar kesehatan Asia Tenggara yang semakin bebas.
Penerapan beberapa ideologi dalam satu negara ini berkembang menarik. Terdapat negara lain yang menerapkan multi ideologi seperti Cina yang sistem politiknya komunis dan sosialis ternyata system ekonominya kapitalis. Amerika Serikat yang kapitalis juga cenderung ke “kiri” atau “sosialis” dengan UU Reformasi kesehatan yang meningkatkan peran pemerintah dalam kesehatan. Oleh karena itu “tidak perlu fanatik dengan satu ideologi”.
Kebijakan kesehatan memerlukan mekanisme kontrol dan pola pengelolaan yang tepat. Dalam hal ini ideologi dapat dipergunakan menjadi pedoman. Sebagai gambaran dalam Jampersal, “jangan sampai orang kaya masuk VIP sebuah RS lalu meminta Jampersal membiayai persalinannya di kelas 3, dan dia membayar selisihnya”. Selain itu, juga harus dicermati bahwa Indonesia yang sangat luas ini mempunyai infrastruktur layanan kesehatan yang amat beragam. Daerah NTT dan Papua kekurangan dokter dan fasilitas kesehatan yang memadai sehingga Jampersal atau pelayanan kesehatan gratis tidak akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat jika di daerahnya tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai dan tenaga kesehatan yang cukup.
Untuk itu, sebenarnya Jamkesmas dan Jampersal saja tidak cukup kalau tidak diiringi pembangunan infrastruktur kesehatan. Pemerintah harus juga memikirkan alokasi biaya investasi dan pemerataan SDM kesehatan, bukan hanya biaya operasional saja. Apapun ideologinya, sebaiknya tetap memperhatikan “tombol pengendali” yang dapat mempengaruhi hasil pembangunan kesehatan. Tombol kendali ini terdiri dari:
a. Pembiayaan
b. Pembayaran
c. Pengorganisasian
d. Regulasi
e. Promosi
Dengan mengubah “setelan” tombol kendali yang tepat, maka akan didapatkan hasil kinerja kesehatan yang baik pula. Misalnya tombol pembiayaan kesehatan yang saat ini berupa Jamkesmas, tidak akan dapat menghasilkan kinerja yang baik tanpa system pembayaran kepada dokter/RS yang memuaskan. Hal ini sudah terjadi di Aceh. Di Aceh banyak dokter yang enggan melayani pasien Jaminan kesehatan di daerahnya karena dibayar terlalu sedikit. Contoh lain, seperti yang dilakukan UGM, RS Soetomo, RS Sanglah, RS Wahidin, RS Saiful Anwar, RS Sardjito, RS Bethesda, RS Panti Rapih, Unair, Unibraw, Udayana, Unhas dan AIPMNH/AUSAID dan DinKes Propinsi NTT dengan program sister hospital NTT. Untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga spesialis di NTT maka dibentuk kerjasama dengan berbagai RS besar yang memberikan bantuan tenaga dokter-dokter spesialis di NTT untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Hal ini merupakan implementasi penyetelan tombol “pengorganisasian” agar ideologi yang berpihak pada daerah tertinggal dapat dilaksanakan dengan baik, dan JamKesMas dan Jampersal (nantinya) dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk yang berada di daerah sulit.
Ada dua isu menarik di tahun 2011;
1. Pembiayaan kesehatan seperti kata orang, yang katanya kurang dari 5% GDB, 15 % dari APBD ternyata penyerapannya masih rendah. Ini menarik, karena mengapa bisa seperti itu.
2. Universal Coverage dan health insurance system and Who will dominant health insurance in the future. Apakah mungkin kita mencapai universal coverage tanpa badan penyelenggara jaminan (BPJS). Ketidakmampuan kita menyerap dana/Kebijakan Pembiayaan Kesehatan/Health Financing
Pemerintah mengeluarkan isu jampersal disisi lain kita punya jamkesmas. Dulu ada kesepakatan 15 % APBD utuk kesehatan dan 5% anggaran APBN untuk kesehatan. Dan sekarang apabila itu diterapkan apakah itu bisa mencapai suatu derajat kesehatan yang ideal yang kita harapkan,kurang atau malah berlebih jika dilihat dari anggaran sumber kementerian keuangan. Kalau anggaran itu kurang dan dinaikkan setiap tahunnya tetapi mengapa ada sisa lebih anggaran. Jadi sebetulnya hambatan apa yang meyebabkan anggaran kurang tetapi pada akhir tahun terjadi lebih anggaran.
- Eksplorasi pada kebijakan kesehatan dengan kerjasama litbangkes, dengan data yang ada bagai mana kebijakan itu dibuat atau sesuai dengan pembiayaan kesehatan
- Menghitung equity
Data keuangan dari nota keuangan Kemenkes terbaru tahun 2011 bahwa kemenkes selama 5 tahun terakhir telah mengalami peningkatan dari 25%, 6,5 triliun pada tahun 2005 menjadi 22,4 triliun di tahun 2010, prosentasenya naiknya hanya 0,2% dari total PDB . Ini merupakan langkah berat untuk mencapai target 2% PDB anjuran WHO. Absorbsinya juga meningkat pada tahun 2005 mencapai 60% dan tahun 2010 mencapai 94%. Tetapi nilai riilnya yg kita lihat dari penyerapannya, tiap tahun kita punya sisa 1-2 triliun yang tidak terserap. Kepesertaan jaminan kesehatan, saat ini jumlah orang nya hanya 42 % . Apakah catatan 2014 bisa mengejar sisanya yg belum tercover? Dari hasil penelitian Equity, utilisasi di RS menunjukkan situasi yang tidak equitable. Artinya yg menikmati adalah orang kaya, sedangkan org miskin mencari akses kesehatan di luar RS. Otomatis subsidi yg diberikan pemerintah tidak mencapai target, tidak seusai dengan tujuan untuk orang miskin sesuai penelitian equita projek. Sedangkan orang miskin melalui non RS yaitu puskesmas. Bagaimna situasi ke depan, apakah akan tetap seperti ini atau puskesmas tetap menjadi ujung tobak pelayanan atau ada kebijakan lain???
Besaran anggaran tidak bisa mereduksi gap kesenjangan yg terjadi. Walaupun hanya 0,02% tapi gap nya membesar.
Besaran anggaran tidak bisa mereduksi gap kesenjangan yg terjadi. Walaupun hanya 0,02% tapi gap nya membesar.
Disparitas utk wilayah Indonesia, catastropik, banyaknya rumah tangga yang menjadi miskin karena biaya kesehatan 40% melebihi kebutuhan dasarnya (kebutuhan rumah tangga). Dari tahun ke tahun hal ini terlihat semakin baik tetapi ada beberapa daerah yang memburuk. Indonesia bagian timur banyak yang miskin karena masalah kesehatan, pada tahun 2004 meningkat, implikasi bansos nya tidak tercapai atau barang-barang kesehatannya mahal, disparitas antar propinsi terlihat jelas. Lesson learn kebijakan pusat utk Indonesia omong kosong belaka, dilihat dari propinsi-propinsi wilayah timur. Tahun 2010 anggaran Kemenkes 23,8 triliun, hanya 1,72% dari total pengeluaran pemerintah sebesar 1120 triliun, atau 0.4-0.5% PDB. Peningkatan ada tetapi masih ada yg tidak teserap. Tampaknya hal tersebut missed-planning, missed-budgeting, bermasalah dengan imbursment yg tidak tepat. Situasi pembiayaan yangg tidak merata terutama Indonesia bagian tengah dan timur. Mereka sebenarnya tidak kekurangan uang, seperti contohnya provinsi Papua memiliki anggaran dengan uang banyak dan jumlah penduduk sedikit. Koordinasi perencanaan dan anggaran di daerah belum bagus antara kabupaten/kota, propinsi dan pusat. Ketidak sinkronan perencanaan program dan kegiatan yang tumpang tindih, serta kondisi politis yang banyak menetukan arah planning dan budgeting. atas dasar penjelasan-penjelasan di atas, maka harus dibutuhkan kesinergisan untuk merancang kebijakan-kebijakan yang tepat.
waw...tulisan ini keren dan aku suka dengan beberap tulisannya, salam kenal aku penggemarmu...hehehe
BalasHapusrusdi.rs@gmail.com
semoga kita ketemu di fb: muhammad rusdi(rusdi_rs@yahoo.com)
tulisanya bagus salam kenal.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus