Sabtu, 12 Februari 2011

DOKTER, BELAJARLAH DARI PASIEN ANDA,.!!!

Jumat, xx September 2010

Siang itu begitu terik. Saat itu tiba-tiba aku menjadi rajin dan ingin di UGD, tapi aku tidak pernah mengira akan berjumpa dengannya...

Lalu tiba lah aku di UGD. UGD yang sangat ramai. Banyak orang dengan hipertensi dan sakit gula yang kambuh penyakitnya akibat tidak bisa menjaga pola diet sesuai sakit mereka. Dan mereka semua berebutan ingin dirawat inap.
Setelah menyapa Dokter Jaga, perawat2 serta teman2, mereka menunjukkanku --sang koas Bedah-- untuk menuju ke ruang isolasi. Lalu, aku pergi ke ruangan kecil itu... Di ruang isolasi ini ada 3 bed penuh orang. "Anak kecil itu tuh pasienku...", kata kakak kelas temanku sang koas bedah itu.
Aku bergerak menuju bed yang ditiduri seorang anak lelaki seusia anak kelas 6 SD yang hitam gempal yang di kemudian hari kami memanggilnya Si Emon. Dan tahukah Kawan, anak kecil itu tubuhnya melepuh! semua orang yang melihatnya pasti tercengang.
Bapak perawat yang merawatnya berkata jika Si Emon ini terkena luka bakar akibat menjadi korban erupsi gunung merapi beberapa waktu lalu. Anak yang kesakitan itu hanya bisa merintih dan meneteskan air mata tiada henti saat Perawat mengoleskan salep antibiotik ke luka-luka bakar yang tak terhitung jumlahnya di sekujur tubuhnya.
Luka bakar grade III. Ini terjadi akibat trauma energi panas yang membuat seluruh lapisan kulitnya mati. Kulit akan mengeras seperti lapisan lilin, berwarna hitam dan tidak sakit akibat saraf di kulit juga ikut mati. Efeknya adalah tubuh kehilangan lapisan pelindungnya yang melindunginya dari dunia luar. Jika luka bakar ini terjadi di dinding dada, maka dia tidak bisa bernapas karena kulitnya menjadi seperti stagen kencang yang mengikat dada. Tapi dibeberapa bagian tubuhnya masih banyak yang melepuh serta kemerahan. Dilihat dari alis, bulu mata dan bulu hidung yang menghilang, maka sangat dipastikan dia menghirup hawa panas sehingga tenggorokan dan kerongkongannya juga ikut melepuh.
Kemudian Dokter seniorku datang dan kami bersama-sama menghitung kebutuhan cairan si Emon ini karena dengan luka bakar sekujur tubuhnya dia rentan terkena dehidrasi yang bisa menjadikannya gagal ginjal. Setelah itu aku menghabiskan waktuku disamping Si Emon untuk menggali informasi dan memberinya edukasi agar keluarganya meminimalisir risiko untuk terjadinya infeksi dan dehidrasi.
Anak ini ditemani oleh seorang Ibu tetangga rumahnya, katanya dia menjadi korban erupsi kedua gunung merapi beberapa saat sebelum di evakuasi. Dia tinggal di sebuah rumah bambu bersama ayah dan ketiga adiknya. Ibu dan kakak perempuannya menjadi TKW di Singapura. Anak ini rajin membantu para tetangga guna memperoleh upah tambahan seribu-dua ribu. Well, sangat trenyuh bukan...
Saat visite mengunjungi pasien di malam hari aku sengaja meluangkan waktu menjenguk si Emon meski dia bukan pasienku. Aku mengobrol dengannya dan kerabat yang menjaganya. Tidak terlihat ayahnya atau ibunya disampingnya. Padahal dia masih kecil, jika sakit panas saja aku ingin mama berada disisiku, tapi anak ini sendirian bersama orang-orang 'asing'. Untuk obrolan singkat itu, dia terlihat sangat tabah. Dia menuruti kata-kataku untuk tetap berusaha makan dan banyak minum. Padahal bibir dan rongga mulutnya melepuh... Saat aku menyampaikan bahwa besok kami akan membawanya ke ruang operasi untuk membersihkan luka-lukanya, dia masih saja sempat menanyakan berapa biayanya. Oh, Emon...
Si Emon dibawa ke ruang operasi. Setelah dibius total. Aku membantu Dokter Bedah membersihkan lukanya dengan garam fisiologis dan mengoleskan salep luka bakar serta antibiotik. Di atas meja operasi kami bisa melihat dengan jelas betapa parah luka bakar di tubuhnya. Aku ingin menangis saja rasanya membayangkan betapa hebat dia tetap tabah menahan rasa sakit dan perih di sekujur tubuh itu...Sungguh Mengerikan.
"Dok, bagaimana prognosisnya?", tanyaku tentang prospek kesembuhan Si Emon.
"...", Dokter bedah senior disampingku diam saja.
"Ini... susah. Luka bakarnya begitu luas, dan lihat saja...beberapa bagian sudah terinfeksi," katanya kemudian.
Sepsis --infeksi yang menjalar ke seluruh darah yang mengalir di tubuhnya. Itulah prognosisnya. Dan, aku pun terdiam.
Setelah operasi itu selesai, aku pamit untuk kembali ke kostku. Setiap hari aku menanyakan pada teman2 yang merawat Si Emon tentang kemajuannya. Teman2ku senang pada anak itu, karena selain tabah dia juga ceria. Oh, Emon...

Jumat, x Desember 2010

Pagi ini seperti biasa kami memulai rutinitas olah raga pagi menengok pasien yang telah atau akan menjalani operasi bedah tulang. Tiba2 HP-ku berbunyi. Pesan singkat itu mengabarkan bahwa Si Emon, adek pasien kesayangan kami, telah meninggal dunia. Tepat setelah semalam dia berjumpa Ibundanya. Dan, aku pun menangis...

Senin, x Januari 2011

Di aula Bedah RSUP Sardjito aku bertemu teman yang merawat Emon. Dia bercerita tentang musibah Si Emon yang tabah itu. Singkat cerita, anak ini sengaja ditinggal. Ayahnya yang seorang tukang becak yang pengangguran marah ketika Si Emon hendak mengungsi ketempat yang lebih aman. Ayahnya tidak rela si Emon ikut mengungsi dengannya karena kalau Emon ikut mengungsi tidak ada yang menjaga rumah beserta hewan ternak, tidak ada yang bekerja mencari nafkah, terus bagaimana dengan biaya hidup. Oleh sebab itulah maka Emon tidak dievakuasi karena diharapkan mendapat sepeser uang. Dan saat erupsi merapi kedua, si Emon menjadi korban. Ini bukan cerita Sinetron atau Termehek-mehek. Gila, saat ini banyak manusia lebih kejam dari binatang.  Padahal seekor singa pun tidak akan pernah memangsa anaknya.

Ini adalah pelajaran yang sangat berharga saat kita ingin membentuk sebuah rumah tangga. Sebuah rumah seharusnya adalah tempat yang nyaman bagi suami istri untuk membina cinta kasih yang suci serta tempat tumbuh berkembang yang tepat bagi anak-anak. Pilih pasangan yang benar, tentunya yang tidak hanya berorientasi keduniawian saja, pilih pasangan yang cinta Tuhan, takut akan Tuhan. RENCANAKAN DENGAN MATANG. Jangan hanya merencanakan pesta pernikahannya saja, tapi rencanakan juga tentang masa depan anak-anak.
Jadi, masih percaya kah hanya pada cinta saat menikah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar