Minggu, 13 Februari 2011

SISTEM KESEHATAN INDONESIA SANGAT LIBERAL


Sistem kesehatan di Indonesia dinilai sangat liberal dan tak terkontrol. Bahkan, pihak swasta bisa membuat harga sendiri tanpa kontrol dari siapa pun. Harusnya pemerintah ikut mengontrol pelayanan kesehatan oleh swasta. Tapi kenyatannya, siapa yang mengontrol. Mekanisme komplain harus diatur jelas. Dengan sistem kesehatan sekarang ini, pengelola swasta bisa memberikan harga terhadap pasien secara sepihak.
Indikator negara yang memiliki sistem kesehatan baik tidak bisa dilihat dari angka kematiannya saja. Kematian kan bukan disebabkan penyakit saja, tapi juga makanan, pendidikan dan ekonomi. Indikator yang sebenarnya yaitu angka kepuasan pasien rumah sakit tinggi, infeksi rendah dan pasien tercegah dari penyakit. Konsep yang ideal dan realistik itu harus ada batasnya. Problemnya di Indonesia masih seputar uang pembiayaan kesehatan dan komitmen tenaga kesehatan, semua yang butuh akses kesehatan bisa terpenuhi. Tapi sampai saat ini, Indonesia masih memprioritaskan keuntungan negara, bukan kesejahteraan rakyat. Kalau sistem kesehatan di Indonesia diberi skor dari skala 1-10, pakar kesehatan mungkin sepakat memberi nilai 6.
Berbeda dengan Indonesia, sistem kesehatan di negara lain jauh lebih baik. Di Kuba dan Srilangka, dokter-dokternya mau digaji kecil karena sekolah dokternya gratis. Tapi kalau di Indonesia, mau jadi dokter aja mahalnya minta ampun, jadi setelah jadi dokter pasang tarif mahal. Di Jerman, mau sekolah apapun gratis. Begitu pula dengan Malaysia dengan biaya rumah sakitnya yang gratis. Srilangka sudah 63 tahun menerapkan seperti itu. Jerman 130 tahun dan Malaysia sudah 52 tahun. Sedangkan Indonesia, sudah 63 tahun tapi masih sedikit yang bisa dicapai untuk meningkatkan kesehatan rakyatnya.
Sebagai negara dengan sistem kesehatan yang paling baik, Indonesia sepertinya harus mencontoh negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis. Inggris memakai sistem Global budget, rumah sakit diberi hak untuk mengelola uang termasuk gaji pegawai, tapi syaratnya pasien harus terlayani semua dan angka kematian dibatasi. Mestinya ada rumah sakit yang ditutup atau dokter ditutup kalau melakukan pelanggaran. Sistem pemerintah sekarang sangat kaku dan harus ada perubahan mindset. Kita tidak punya share value dan nilai-nilai kemanusiaan. Yang harus diperbaiki adalah masalah pendanaan dan anggarannya. Sistem pendanaan sebaiknya dilakukan secara nasional. "Itu akan mempermudah masyarakat karena sifatnya yang portable.
Untuk membangun sistem kesehatan nasional harus ada yang diprioritaskan, dan prioritas pertama adalah ibu dan anak. Mereka adalah investasi masa depan. Semua kebutuhannya harus bisa terjamin. Prioritas berikutnya adalah orang miskin, orang tua, sektor formal, baru sektor informal. Persoalan paling parah di Indonesia, kita tidak tegas dalam menindaki pelanggar hukum. Peraturan dan kebijakan sudah cukup bagus, tapi implementasi masih jauh. "Banyak perbedaan di lapangan, bahkan antara dokter dan perawat pun sering bentrok.
 Selain itu, standar pelayanan pun tak transparan seperti tata cara memberikan keluhan dan sebagainya. Itu harus diatur dalam RUU Kesehatan. Selain kontrol terhadap peran layanan kesehatan oleh masyarakat, RUU harus bisa mengubah paradigma jaminan kesehatan dari paradigma kuratif (pengobatan) menjadi paradigm preventif (pencegahan).
Indikator tercapainya sistem kesehatan yang ideal, yaitu rakyat harus terlindungi dari lingkungan yang tambah buruk, tarif rumah sakit yang bertambah mahal dan dan kualitas rumah sakit harus terkontrol. Harusnya setiap rumah sakit mengumumkan tarif dan penyakit yang berhasil diobati, jadi masyarakat bisa tahu kualitas rumah sakit itu. Intinya, sistem kesehatan yang ideal itu harus melindungi rakyat bukan hanya pejabat. Jika menggunakan paradigma sekarang, maka yang terjadi adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yaitu pemerintah mengobati orang sakit. Itu sangat butuh dana besar dan memboroskan anggaran. Tidak mendidik dan menjadikan ketergantungan masyarakat terhadap rumah sakit. Ini harus diubah menjadi program pencegahan seperti di AS dan Eropa," Selain masalah peran negara, RUU juga harus jelas mengatur hubungan dokter dengan produsen obat. Selama ini, terjadi kolusi antara keduanya sehingga masyarakat dirugikan dengan harga obat yang sangat tidak terkontrol. "Harus dipisahkan secara tegas di antara keduanya,"

1 komentar: