Minggu, 13 Februari 2011

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN KESEHATAN



Kebijakan pembiayaan kesehatan di tahun 2010 ditandai oleh beberapa perkembangan menarik. Salah satunya adalah target Universal Coverage 2014 (100 persen penduduk terjamin) telah ditetapkan. Ini merupakan tantangan berat karena saat ini baru sekitar 50% penduduk yang terjamin asuransi kesehatan atau jaminan kesehatan lainnya, itupun lebih dari 75% terdiri dari warga miskin yang dijamin oleh pemerintah lewat dana pajak. Universal coverage sudah ditargetkan untuk dicapai namun pada saat yang sama penerapan UU SJSN masih belum dilakukan. Walaupun demikian, ada satu langkah menarik yang dianggap sebagai “pembuka jalan” untuk tercapainya Universal Coverage, yaitu Jampersal (jaminan kesehatan persalinan) yang, berbeda dengan Jamkesmas, juga ikut menjamin ibu non miskin yang bersalin asal mau dirawat di klas 3 RS Pemerintah atau swasta tertentu. Juga pada tahun 2010, hampir semua kabupaten/kota juga sudah mencanangkan program Jaminan Kesehatan Daerah dengan berbagai variasinya. Pada tahun 2010 sebenarnya ditargetkan untuk diundangkannya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, namun kenyataannya belum juga terlaksana akibat tarik ulur antara eksekutif dan legislatif mengenai jumlah BPJS. 
Isu besar lain saat ini juga adalah masalah adekuasi dan sustainabilitas dari pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya pembiayaan pemerintah. Diskusi tentang “apakah anggaran saat ini cukup? Atau kurang?, menjadi perdebatan yang hangat. Jika melihat kebutuhan akan dana program dari pemerintah yang digulirkan melalui APBN (Pusat) dan atau APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota), maka bisa dikatakan bahwa anggaran kesehatan Indonesia relative sangat kecil (hanya 1.7% dari total belanja pemerintah). Tetapi isu menarik berikutnya adalah adanya sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Data pasti belum terkumpul, namun kejadian sudah terlihat bertahun-tahun. 
Isu sustainablitas yang muncul adalah masalah Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang menjadi input sistem kesehatan sebagai dana bantuan program, dimana istilah “bantuan” menimbulkan pertanyaan tentang sustainabilitas dari program tersebut. Ada perkembangan menarik bahwa BOK ini nantinya akan menjadi Dana Tugas Pembantuan (TP) untuk kesehatan melalui PKM, ini juga menjadi perhatian penting karena dalam perundangan, TP dan Dekonsentrasi ini sifatnya hanya dana pelimpahan wewenang pusat ke propinsi dan nanti selanjutnya akan dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK). Muncul pertanyaan penting, kenapa tidak langsung dari BOK ke DAK?
Isu menarik lain adalah mengenai ekuitas pelayanan kesehatan antara daerah miskin dan kaya, pedesaan dan perkotaan. Disinyalir bahwa kebijakan Jamkesmas/Jamkesda atau Jampersal hanya akan menguntungkan masyarakat perkotaan di daerah yang relatif kaya seperti Jawa dan Sumatera mengingat ketersediaan pelayanan kesehatan di daerah tersebut relatif lebih merata. 
Di samping permasalahan mengenai pembiayaan kesehatan kuratif di atas, juga terdapat masalah pembiayaan kesehatan di aspek promotif dan preventif. Saat ini bergulir wacana akan adanya pengalihan sebagian hasil cukai rokok untuk promosi dan prevensi di bidang kesehatan. Namun di sisi lain, pasal “anti rokok” di UU Kesehatan yang baru malah “menghilang”. Selain itu, banyak ahli kesehatan masyarakat saat ini juga memandang seolah ada dikotomi antara kuratif dan preventif/promotif; dengan menyebutkan bahwa pemerintah sekarang terlalu cenderung membiayai kuratif dan mengabaikan pembiayaan preventif dan promotif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar