Rabu, 09 Februari 2011

SO COMPLETELY MENTAL DISORDER




Ini hari keduaku menghadap salah satu dokter Sp.KJ untuk ujian jiwa setelah kemarin aku membawa kasus depresi untuk ujianku. Yah, sebenarnya mungkin akan lebih menarik jika aku saja yang kujadikan kasus, all that things make me deppressed so deeply! hahahaha :D
Lalu...Tokek keluar dari ruang konferensi dengan wajah jengah karena masih harus maju dengan timing tak tentu, Ow eM Jiii...semua hafalanku ilang! Kebetulan sejak dua malam yang lalu aku chatting dengan mantan2 orang yang diuji dr. tersebut dan hasilnya cuman nakutin aja...nyesel aku! Aduuuh, mana hafalan diagnosis, sign simtom, obat2an...Aaaarrgghh, tidaaak!

“Kasusnya kemarin mana, Mbak,” beliau membuka sesi kami...
“Ini, Dok...”, jawabku sembari memberikan jilidan super rapi kasus ujianku (tumben-tumbenan si sanguin ini mau ngurusin hal-hal seperti buat njilid kasus ujian dan berjuang menjaganya agar tak kusut di tasku...)
Beliau memandang sejenak halaman sampul kasusku...
“Mbak, saya minta Anda menutup nama saya ini... Saya itu malah malu kalau nama saya ditulis sangat besar seperti ini. Ya, saya tahu ini adalah lambang mahasiswa yang ketakutan dengan Pengujinya, makanya buat njilat nama si penguji itu ditulis besar-besar biar tidak dimarahi penguji. Memang selama ini Anda mungkin mendapatkan Penguji2 yang seperti itu di tempat lain, tapi kalau saya, saya malah malu jika ditulis seperti ini...nanti ini ditutup ya Mbak!”

Jleb jleb jleb...Pelan. Tegas. Kalimat teratur dalam intonasi datar dan nada rendah itu hanya membuatku cengar-cengir (pengen nangis) dan merasa bodoh, namun aku sangat salut dengan beliau ini, sungguh berbeda dengan dewa-dewa berbaju putih di tempat lain yang gila harta dan gila hormat serta gila pengakuan eksistensi diri...

“Anda sudah di mana saja Mbak?”
“Ini stase integrated management patient terakhir saya Dok....,” hiks, jadi tambah takut deh!
“Wah, berarti nanti saya bisa tanya tentang semua hal ya...”
“Anda sudah membaca buku apa saja, Mbak?” tanya beliau padaku.
Aku kemudian menyebutkan beberapa buku. Pembicaraan kami menjadi berbelit-belit tak teratur membuatku semakin bingung tak bisa menebak mau ke arah mana sesi ujianku ini. Akhirnya aku menceritakan bahwa aku membaca buku biru dan (satu-satunya) hal yang tersisa di otakku ini adalah tentang bab KDRT. Kemudian....

dr.M: “Menurut Anda mengapa banyak kasus kekerasan pada perempuan dan jika Anda menjadi Dokter yang bertanggung jawab terhadap itu maka apa yang akan Anda lakukan?”(Weitzz...pertanyaan macam apa ini, hiks...aku bingung, nggak mungkin kalau aku menjawab dengan jawaban diplomatis normatif karena menurutku aku hanya akan terlihat tambah bodoh)
h: “karena perempuan kedudukannya lemah, Dok”
dr.M: “Lho, memangnya apa bedanya antara perempuan dan laki2? Memangnya kekerasan pada laki-laki oleh perempuan tidak ada? (Ada, Dok...tapi laki-laki khan kuat, jadinya bisa membalas dengan memukul atau main fisik, Dok...) Lha memangnya perempuan tidak bisa memukul dan main fisik???”
h: “Bisa juga sih, Dok...tapi perempuan itu sendiri yang membuat dirinya lemah...bla bla bla” Aku menjawab bahwa perempuan tidak punya kekuatan di masyarakat karena dia tidak berdaya, fisiknya lemah (jika main pukul pasti KO), tidak punya uang maupun pekerjaan. Kalau mau melaporkan ke polisi, nanti malah suaminya di penjara dan tidak ada yang menafkahi keluarganya. Kalau mau lari, ya lari kemana...jadi saya akan memberikan konseling, keberanian dan membuat program pelatihan...(ampuun, jawabanku...)
dr.M: “Yak, benar sekali! Perempuan lah yang membuat dirinya lemah, Anda tahu apa wujud kelemahan itu contohnya? Perempuan suka disanjung...Anda suka disanjung Mbak? (suka, Dok...) Kenapa? (Ampuuun...”karena disanjung2 enak, Dok...”, hahaha jawabanku enggak banget deh!) Nah, karena merasa enak, nyaman, akhirnya dia menjadi lengah dan lemah...”
(Uuuppsss...) "Solusinya adalah memberdayakan perempuan! Caranya, sebagai dokter puskesmas Anda bisa membuat program pelatihan seperti “Pijit refleksi”. Sederhana, murah, mudah tapi sangat bermanfaat dan bisa laku di masyarakat sehingga perempuan2 itu bisa bekerja dan punya uang sendiri!" (Wow, brilliant!!!!)

dr.M: “Di bagian anak Anda mendapat kasus psikiatri apa saja Mbak???”
h: addduuuhh, bingung...aku mulai nyerocos tentang retardasi mental, hiperaktif, autis...tapi kok kayaknya dr. M tidak tertarik, sampai... “tentang pola pengasuhan anak yang sangat tidak layak, Dok...”
dr.M: “Kenapa itu terjadi?”
h: aku mulai bercerita tentang masyarakat kurang mampu sehingga mereka kekurangan sumber daya uang dan tidak punya pendidikan tidak jelas sehingga anak diserahkan ke alam, tidak mendapat stimulasi perkembangan dan pendidikan yang layak...bla bla bla...akhirnya dr. M memotong...
dr.M: “Iya! Pendidikan anak diserahkan ke kakaknya. Yang momong Kakaknya, padahal kakaknya itu juga masih kecil dan belum memiliki arah hidup. Jadi, si anak tidak memiliki figur yang tepat untuk tumbuh dan berkembang”(Hebat! Benar juga pemikiran itu, saat ini anak2 kecil tumbuh dimomong kakaknya yang juga sebenarnya masih anak kecil...)
“Anda pernah mendapat kasus 'Bawah Garis Merah'? >> status gizi kurang berdasarkan kartu KMS (Pernah, Dok...) Menurut Anda siapa yang salah?”
h: “Ibunya, Dok...”
dr.M: “Benar sekali! Dan, adakah permasalahan psikiatri di balik itu?”
h: “Karena kasus2 yang saya temui sang ibu masih sangat muda, Dok. Mungkin sebenarnya dia belum siap menjadi seorang ibu jadi dia tidak tahu dan tidak bisa memberi pengasuhan yang benar terhadap anak. Anak tidak mau makan malah semakin dimarahi dan dipukul. Si anak menjadi depresi dan tanda anak kecil depresi itu khan anak tidak mau makan, Dok...Bisa juga karena mereka miskin...”
dr.M: “Ya...si Ibu masih belia, dia masih ingin main...bisa juga karena si ibu sedang depresi akibat perlakuan suaminya, dia lalu melampiaskan ke anaknya, si anak lalu menjadi depresi juga. Jadi apa yang akan Anda tangani?”
h: “Memberi konseling pada ibunya Dok...”
dr.M: “Yaa...dalam hal ini masalah si Ibu lah yang harus lebih dahulu diselesaikan...percuma memberi makanan bantuan jika sebenarnya si ibu masih depresi...” (Hmmm...that's right!)
dr.M: “Anda pernah mendapat kasus pasien yang harus diamputasi kakinya?” (Pernah, Dok...) Permasalahan psikiatri apa yang ada dalam kasus itu dan bagaimana penyelesaiannya?”
h: Cengar-cengir lagi deh gw... Pikiranku terbayang kasus DM dengan ganggren yang berat atau korban trauma yang kakinya harus dipotong karena sudah rusak parah dengan ancaman sepsis yang mengerikan! Tentu saja pasien stres dan depresi karena dia akan kehilangan bagian penting dari tubuhnya dan tentu saja aku harus memberinya edukasi, tapi pasien pasti akan 'denial' meskipun taruhannya adalah nyawanya dan parahnya lagi keputusan kasus ini harus CITO...ting tong, ayo jawab, Ning!
“Saya akan memberikannya edukasi, Dok...menjelaskan bahwa kakinya sudah sulit diselamatkan dan dia bisa terkena infeksi berat yang bisa mematikannya...lalu...”
dr.M: “Wah, pasienmu pasti akan berdalih 'Lho Dokter kan tidak pernah diamputasi, wajar dokter mengatakan dengan mudah seperti itu dokter kan tidak akan kehilangan kaki, saya ini peragawati dok, tubuh saya indah, pekerjaan saya berlenggak-lenggok di atas panggung, mana mungkin saya hidup tanpa kaki' Nah, Mbak...apa yang akan Anda lakukan dengan pasien seperti ini? Padahal dia bisa mati jika kakinya tidak diamputasi... ”
h: Tepat seperti isi dalam pikiranku! Sial! Waduh, cengar-cengir lagi nih...
“Menjelaskannya lagi, Dok (hiks, jawabanku...)...lalu saya akan mengatakan bahwa manusia tetap bisa hidup tanpa kaki, yang penting jika kakinya dipotong dia akan bisa menjalani hidupnya lagi...dan dia bisa pakai kaki palsu...”
dr.M: “Benar...Anda harus menjelaskan bahwa jika tidak diamputasi dia akan menderita dan mati, sedangkan jika diamputasi dia bisa mendapatkan pengganti kaki lalu tetap bisa melanjutkan hidupnya seperti sedia kala meski tanpa kaki. Lagipula jaman sekarang banyak kaki palsu yang buatan dan kwalitasnya sangat bagus...”
dr.M: “Di bagian mata Anda pernah mendapatkan pasien yang terancam buta? (Pernah, Dok...) Nah, misalnya dengan retinitis pigmentosa, suatu saat dia pasti akan buta kan? Permasalahan psikiatri apa yang ada dalam kasus itu dan bagaimana penyelesaiannya?”
h: Gileee, aku jawab apa ya...Aku pernah mendapat pasien Retinitis Pigmentosa dan penglihatannya semakin hilang dan yang jelas dia memang ditakdirkan akan buta dengan gen itu. Bingung...yang jelas aku membayangkan jika menjadi pasien itu pasti akan sedih, stres, depresi dan bingung mau ngapain karena mata terancam buta dan tidak akan bisa melihat apa-apa lagi. Hidup mau ngapain dengan mata buta??? Yaa Tuhan! Ting tong...
“Edukasi Dok...(hiks, aku tahu ini jawaban yang enggak banget bagi dokter itu)”
dr.M: “Wah, pasienmu pasti akan berdalih 'Lho Dokter kan tidak pernah buta, dokter juga tetap bisa enak2 melihat wajar dokter bisa dengan mudah ngomong begitu'”
h: “Benar juga sih, Dok...tapi mau bagaimana lagi?? (nada2 putus asa nih, hehe) Saya juga akan menjelaskan bahwa di dunia ini banyak sekali orang buta yang tetap bisa berprestasi...”
dr.M: “Contohnya siapa Mbak?”
h: adduuuh, aku lupa sama nama orang2 buta itu...”seperti tukang pijit tuna netra itu, Dok...”
dr.M: “Ya, benar. Anda bisa mengajak pasien itu untuk bertemu dengan orang2 buta yang tetap eksis itu. Kalau ngomong saja akan percuma, karena pasien akan tetap denial dengan permasalahannya. Apalagi menasehatkannya untuk belajar huruf Braille..” lalu beliau bercerita tentang pasien retinitis pigmentosa yang semula berpindah2 dari satu dokter mata ke dokter mata yang lain karena dia 'denial' dengan keadaannya. Sekarang pasien itu sudah menerima keadaanya dan mempersiapkan segala sesuatunya saat dia buta nanti setelah diajak mengunjungi perkumpulan tuna netra dan berinteraksi sendiri dengan orang2 buta itu...

Masih panjang diskusi kami yang kesimpulannya adalah banyak kasus gangguan kejiwaan yang menyertai sakit fisik. Seperti pada kasus keganasan, penyakit kronis seperti DM, hipertensi, lalu terminally ill disease, trauma yang terancam lumpuh, narkoba, bahkan psikosomatis. Gangguan kejiwaan yang tampak remeh ini bisa berakibat fatal dan mengancam nyawa pasien karena mungkin saja dia menjadi bosan hidup dan bunuh diri.
Untuk kasus2 berat dan terminal seperti kanker kita bisa membantu dengan 'peer support group' karena sangat sulit mengandalkan keluarga apalagi petugas kesehatan untuk mendampingi pasien. Keluarga juga kelelahan secara mental dan fisik, apalagi para dokter dan perawat mana mau mengurusi hal ini. Sesama penderita akan bisa saling menguatkan dan efeknya adalah minus berbagi dengan minus justru hasilnya plus...
Para korban kecelakaan seperti gempa jogja dan bencana meletusnya Merapi kemarin yang tadinya adalah manusia normal tentu saja akan denial berat dengan kelumpuhannya. Kita bisa membantu dengan tidak mengkonfrontasi, tapi dengan sabar kita latih mereka untuk menggerakkan jari2 kakinya di Pusat Rehabilitasi. Lambat laun mereka akan menyadari, menghayati dan bisa menerima bahwa memang mereka tidak bisa menggerakkan jari-jari itu, bagian terkecil dari anggora gerak tubuhnya...
Kasus narkoba pemecahannya hanya dengan support dari pengguna yang sudah sembuh. Karena mantan pengguna itu pernah merasakan sakitnya putus obat, sementara dokter hanya tahu tentang teori rasa sakit itu...

dr.M: "Nah, selesai dari sini tentu Anda bisa mendiagnosis diri Anda sendiri...Anda mengalami gangguan jiwa apa, Mbak?"
From the deep of my heart: Salut untuk dokter M tersebut! Beliau penguji terbaik yang pernah aku terima selama ini dan aku sangat beruntung dengan sesi ujian bersama beliau.

The arts of medicine.
Menjadi dokter itu memang indah. Semoga Tuhan Memberikan kita semua Petunjuk, Kemudahan, dan Kesuksesan untuk menjadi dokter yang baik. Amiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar