Senin, 07 Februari 2011

EUTHANASIA : POLEMIK ETIK YANG TAK BERKESUDAHAN

Pengantar
               Bisa jadi sebagian besar dari kita belum pernah bersinggungan langsung dengan soal euthanasia ini. Tetapi toh euthanasia tetap menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji bersama, terutama mengingat dilema etis dan teologis yang ditimbulkannya.  Bayangkan orang yang bertahun-tahun menderita sakit akut dan tidak ada kemungkian untuk sembuh, hidupnya sepenuhnya tergantung pada alat-alat medis; sedang biaya perawatan mahal. Apa yang sebaiknya dilakukan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam situasi demikian?!
Betapa problematisnya soal euthanasia ini. Pada satu pihak kita bisa saja berada pada barisan orang-orang yang pro. Alasan yang biasa dikemukakan adalah: tidak ada kesempatan hidup, biaya mahal bisa digunakan untuk yang hidup, penderitaan si pasien. Tetapi pada pihak lain kita juga bisa berada pada barisan orang yang kontra. Alasannya adalah apa pun yang namanya pembunuhan adalah pembunuhan dan itu dilarang oleh Tuhan sendiri.
Adakah kematian itu menjadi hal yang pasti bagi semua orang, jawabnya Ya!!, tetapi jika kematian menjadi hak yang bisa "dibeli" bagaimana kita menyikapinya? Bukankah hal ini bertentangan dengan kodrat langit? Sudah jelas. Tetapi terkadang rasa sakit yang amat sangat membuat manusia putus asa dan buta tentang kedudukannya di hadapan Tuhan. Jadi adakah mungkin suatu dispsensasi dalam melakukan Euthanasia, apapun alasannya?
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.

Contoh Kasus Euthanasia (Kasus dr. Kevorkian dan dr. Cox)
Kita mulai dengan dua kasus yang sempat menghebohkan. Pertama, terjadi di Amerika ketika seorang dokter bernama Jack Kevorkian mengaku bahwa sejak tahun 1990 ia telah membantu lebih dari 130 pasien dengan berbagai penyakit kronis untuk mengakhiri hidupnya (melakukan euthanasia). Kevorkian kemudian dijuluki sebagai dr. Death. Kontroversi terjadi. Ada yang mengutuk, tapi ada juga yang membelanya. Para pembela itu menyebut Kevorkian sebagai dokter yang menunjukkan belas kasihan mendalam dengan penderitaan para pasien. Terlepas dari kontroversi mana yang benar dan mana salah, yang pasti pada tanggal 14 April 1999 dr. Kevorkian dijatuhi hukuman 25 tahun penjara.
Kedua, terjadi di Inggris tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup Lilian Boyes seorang pasien sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya dengan memberikan suntikan potassium chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu karena ia sungguh-sungguh merasa iba dengan penderitaan sahabatnya itu. “Ia mengalami kesakitan luar biasa. Lima hari sebelum kematiannya ia memohon-mohon kepada saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidupnya,” demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes menyetujui tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat bahwa dr. Cox telah merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih. Tetapi apa pun bentuk pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan dijatuhi hukuman 12 bulan, hanya saja ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa menjalankan profesinya sebagai dokter.
Kedua contoh kasus di atas memperlihatkan kepada kita, betapa problematisnya soal euthanasia ini. Pada satu pihak kita bisa saja berada pada barisan orang-orang yang pro. Alasan yang biasa dikemukakan adalah: tidak ada kesempatan hidup, biaya mahal bisa digunakan untuk yang hidup, penderitaan si pasien. Tetapi pada pihak lain kita juga bisa berada pada barisan orang yang kontra. Alasannya adalah apa pun yang namanya pembunuhan adalah pembunuhan dan itu dilarang oleh Tuhan sendiri.

Terminologi Euthanasia
            Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita". Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Menurut jenis tindakannya, ada tiga macam euthanasia, yaitu :
a.       Euthanasia aktif, artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya. Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.
b.      Euthanasia pasif, artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan kematian. Misalnya: dengan mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga tidak lagi merawat pasien di RS. Hal ini terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan segala upaya pengobatan sudah tidak berguna pula. Belakangan tidak lagi dianggap sebagai euthanasia. Umumnya kalangan dokter dan agamawan setuju. Karena toh pasien meninggal karena penyakitnya, bukan karena usaha-usaha yang dilakukan manusia.
c.       Euthanasia tidak langsung, apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan tetapi tindakan mediknya membawa risiko hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Misalnya: seorang pasien penderita kanker ganas tak tersembuhkan yang sangat menderita kesakitan diberi obat penghilang rasa sakit, namun obat tersebut mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Tindakan ini tidak bertentangan dengan eksistensi manusia sebenarnya, karena dilakukan agar pasien tidak berada dalam penderitaan yang terus-menerus dan tak tertahankan.
Selain itu, euthanasia bisa juga dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter.  Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. Maka euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.
            Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia. Beberapa negara telah melegalkan aksi euthanasia dengan suntik mati, namun di negara lain hal tersebut adalah melanggar hukum.

Sejarah Euthanasia
Sekitar tahun 400 SM, sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan “The Hippocratic Oath” yang dinyatakan oleh seorang Fisikawan Hipokratis Yunani, dengan jelas mengatakan:
“Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut pada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu.”- The Hippocratic Oath
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Sekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, Hukum Adat Inggris yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya:
“Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun dibantu.” – Chief Justice Rehnquist
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Tahun 1920, terbitnya buku berjudul “Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life”. Dalam buku ini, Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universtas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri hidupnya harus, dibawah pengawasan ketat, dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis. Buku ini men-support euthanasia non-sukarela oleh Nazi Jerman
Tahun 1935, The Euthanasia Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Tahun 1939, Nazi Jerman memberlakukan euthanasia secara non-sukarela. tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
*         Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
*         Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
*         Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
*         Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
Tahun 1955, Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan Undang-Undang yang menyetujui euthanasia, dan diikuti oleh Australia yang melegalkannya di tahun yang sama. Setelah dua negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang euthanasia, beberapa negara masih menganggapnya sebagai konflik, namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama.

Pandangan Hukum di Indonesia
Secara hukum di Indonesia praktek euthanasia (aktif) dilarang. KUHP Bab IX tentang “Kejahatan terhadap Nyawa”, pasal 344 berbunyi demikian: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Lalu pasal 345:“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya  dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Sementara untuk euthanasia pasif dan tidak langsung, dokter harus bisa membuktikan bahwa tindakan medik terhadap pasien sudah tidak ada gunanya lagi (euthanasia pasif) atau membuktikan bahwa tindakan medik yang dilakukannya itu bertujuan untuk meringankan penderitaan pasien (euthanasia tidak langsung).

Pro-Kontra Para Etikawan
Para etikawan tidak seragam dalam menyikapi soal euthanasia ini. Mereka pro- kontra. Yang pro salah satu alasannya yang paling kerap dikemukakan adalah, bahwa pasien terminal memiliki hak untuk mati. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Sebab beberapa hari yang tersisa dari hidup si pasien pasti penuh penderitaan. Euthanasia hanya sekadar mempercepat kematiannya, sehingga memungkinkan pasien mengalami “kematian yang baik” tanpa penderitaan yang tidak perlu.
Sedang mereka yang kontra mengemukakan salah satu alasan, bahwa euthanaasia bisa disalahgunakan. Kalau ada pengecualian terhadap larangan membunuh, bisa-bisa cara ini dipakai juga terhadap orang-orang cacat, atau orang tua, atau orang yang dianggap “tidak berguna.
Secara Spesifik Alasan Pro Euthanasia Aktif:
1.      Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2.      Adanya hak ‘privacy’ yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka seseorang berhak sesuai privacy-nya (Pro-choice dalam kasus Aborsi).
3.      Euthanasia adalah tindakan belas kasihan/ kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan.
4.      Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
5.      Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
6.      Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara permanen.
Alasan-alasan kontra euthanasia aktif, dikemukakan sebagai berikut:
1.      Tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan seseorang melakukan ‘pembunuhan’ maupun ‘bunuh diri’. Kematian adalah hak Tuhan, maka tidak ada hak manusia untuk memilih cara kematiannya.
2.      Hak ‘privacy’ adalah hak yang dinikmati dalam hidup. Hak hidup memang tak terbatas, tetapi hak ‘privacy’ selalu terbatas, bahkan dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari. Selalu privacy bisa dibatasi oleh hak privacy orang lain. Maka hak privacy tidak relevan digunakan mengklaim hak untuk memilih cara kematian seseorang.
3.      Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan euthanasia, itu sama artinya menghalalkan cara untuk tujuan tertentu. Rumus tersebut tidak bisa diterima secara moral.
4.      Penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup manusia. Penderitaan melahirkan ketekunan dan pengharapan dan kesempurnaan hidup. Maka penderitaan tidak bisa dijadikan sebagai alat pembenaran praktek euthanasia.
5.      Manusia lebih berharga daripada materi. Maka materi harus melayani kepentingan manusia. Maka melakukan euthanasia demi untuk kepentingan penghematan ekonomi tidak dibenarkan secara moral.

Alasan Dilakukan Euthanasia
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Karena itu dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara dan penyaringan sumber, berikut adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1.   Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit, tapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan menginformasikan pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari dokter lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu, bukan yang akan membunuh sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2.   Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya, tapi sebaliknya, ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri, hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Ini bisa mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3.   Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.

Pandangan Iman Kristen
Iman Kristen, secara tegas menolak euthanasia aktif ini (entah suntik mati atau bunuh diri berbantuan). Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Dalam bukunya Practical Ethics (edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter Singer menandaskan, “the doctrine of the sanctity of human life… is a product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any fundamental reassessment”.
Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Alasannya adalah bahwa Tuhanlah yang memberikan kepada manusia nafas kehidupan (Kej 2:7 – “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup), maka Tuhan jugalah yang berhak memanggilnya kembali. Hidup dan mati adalah hak prerogatif Tuhan sebagai Sang Khalik. Alasan-alasan seperti rasa kasihan melihat penderitaan pasien, alasan ekonomi, atau kerepotan mengurus pasien, adalah tidak bisa mengesampingkan hak prerogatif Allah tersebut. Euthanasia aktif pada hakikatnya sama dengan menghilangkan nyawa pasien, sekalipun dengan dalih yang argumentatif.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Manusia adalah mahluk yang unik. Beda dengan binatang; tidak ada keberatan untuk mengakhiri “penderitaan” yang terjadi pada binatang. Tapi manusia tidak pantas diperlakukan dengan cara demikian. Manusia diberi anugerah Tuhan untuk melangsungkan kehidupannya, juga untuk menemui kematiannya. Kita harus merawatnya sampai saat terakhir. Tentang kematian kita serahkan kepada Tuhan.
Kedua, dalam penderitaan yang sangat itulah kerap manusia menemukan sesuatu yang paling hakiki dalam hidupnya. Bandingkan dengan pengalaman Ayub selepas ia melewati penderitaannya. Ayub 42:5, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Di sini Ayub seolah hendak mengatakan. Dulu ketika ia masih sukses, makmur, hidup bergelimang kemewahan ia hanya tahu tentang Tuhan dari ajaran-ajaran dan nasihat-nasihat orang lain. Tetapi sekarang setelah ia melewati berbagai penderitaan itu, ia mengalami sendiri Allah.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.
Sebenarnya masalah euthanasia terkait dengan sikap manusia terhadap hidup, penyakit (khususnya penderitaan) dan kematian. Kita akan mencoba melihat sepintas arti hidup, penderitaan dan kematian sebagai bahan acuan untuk membantu kita memahami apakah euthanasia pantas atau tidak pantas dilakukan. Dalam Alkitab tegas difirmankan TUHAN: “Jangan membunuh!” (Keluaran 20:13). Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (Yehezkiel 37:9-10). Napas kehidupan diberikan TUHAN sehingga manusia memperoleh kehidupan. Ulangan 32:39; Ayub 1:21; Ibrani 9:27 menegaskan hanya Tuhan yang berhak mencabut kehidupan dari manusia. Itu berarti, hanya Tuhan yang berhak atas kematian. Maka tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan oleh Tuhan (Perumpamaan dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang percaya (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit. Praktek euthanasia, bagi orang Kristen, melanggar prinsip yang berkata bahwa kehidupan itu diberikan oleh Allah. Di mana Allah tidak menyetujui “tangan yang menumpahkan darah orang tidak bersalah” (Amsal 6:16,17). Ini karena kehidupan berasal dari Allah, dan adalah keputusan Allah untuk memberi kehidupan dan mengambilnya kembali (Pengkhotbah 12:7; Ayub 1:21).
Euthanasia adalah bunuh diri secara sadar, jika tidak maka namanya pembunuhan. Euthanasia berlaku bagi orang-orang yang pengecut, apapun alasannya. Jika memang mati ya biarlah mati, jika memang belum mati dan terus menderita toh akhirnya mati juga. Kenapa memutuskan secara sepihak. Yang pasti memilih euthanasia telah melangkahi kodrat ilahi sebagai penentu nasib seseorang. Masalah Finansial dan Kasih, Kasih menurut siapa ?
Bukankah menahan penderitaan dan rasa sakit, Yesus sudah lebih dulu melakukannya.
Ibrani
12:2 Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
12:3 Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.
12:4. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah.

Dengan semua catatan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Praktek euthanasia aktif tidak dapat dibenarkan secara moral. Yang dapat dilakukan adalah menghentikan semua alat artificial yang justru sering menghambat kematian alamiah (salah satu jenis euthanasia pasif). Menghentikan bantuan alamiah bagi si sakit adalah juga tindakan yang immoral.
2.      Alasan-alasan melakukan euthanasia aktif tidak dapat dibenarkan, baik alasan penderitaan maupun alasan ekonomi, sebab manusia adalah makhluk mulia yang harus mampu menahan penderitaan dan lebih penting dari pada materi.
3.      Tugas setiap orang adalah menghibur si sakit untuk tahan dalam penderitaan dan meyakinkannya untuk menghadapi kematian dengan sukacita. Alasan lain di balik penolakan terhadap praktek euthanasia, bahwa manusia diberi anugerah dan kasih karunia oleh Tuhan untuk melangsungkan kehidupannya, akan tetapi juga untuk menemui kematiannya.

Sumber : Guideline Euthanasia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar