Jumat, 11 Februari 2011

MALDISTRIBUSI DOKTER DI INDONESIA


Distribusi tenaga kesehatan menjadi isu sistem kesehatan di berbagai negara di dunia. Maldistribusi tidak hanya terjadi di negara miskin dan berkembang, tetapi masalah tersebut terjadi juga di negara maju
Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya maldistribusi tenaga dokter. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai daerah yang sulit untuk dijangkau, dimana daerah-daerah tersebut sama sekali tidak menarik minat dokter untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama. Dari sisi kemampuan ekonomi, Indonesia memiliki variasi kemampuan yang sangat lebar. Ada daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga
daerah yang sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan dokter pada daerah tertentu dan kekurangan tenaga dokter pada daerah yang lainnya.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah distribusi tenaga dokter. Bahkan dalam program prioritas Kementrian Kesehatan RI tahun 2010, penempatan tenaga dokter, dan juga tenaga kesehatan lainnya, menjadi agenda utama. Pendekatan kebijakan tersebut adalahpendekatan geografis dan pendekatan motivasional. Daerah yang menjadi prioritas adalah daerah dengan kondisi geografis tertentu, seperti daerah kepulauan, terpencil,
perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Selanjutnya, untuk memotivasi dokter agar berminat untuk bekerja di daerah tersebut, pemerintah menyediakan insentif material dan insentif non material. Insentif material berupa tunjangan dalam jumlah tertentu, sedangkan insentif immaterial berupa jangka waktu kontrak yang pendek (3-6 bulan).
Kebijakan tersebut berhasil menempatkan dokter pada daerah DTPK. Terbukti 101 Puskesmas yang menjadi target penempatan telah terisi seluruhnya. Namun, pertanyaan
berikutnya adalah: bagaimanakah sustainability dari program tersebut? Apakah tenaga dokter tersebut berkenan bekerja di daerah tersebut dalam jangka waktu lama? Apakah dana yang disediakan akan terus menjamin proses deployment? Disamping itu juga ada pertanyaan mengenai bagaimana kinerja para dokter, apakah dapat dinilai atau hanya menghabiskan waktu.
Kualitas distribusi dapat berubah sesuai dengan perkembangan berbagai faktor. Salah satu faktor yang penting adalah gaji, jika gaji meningkat di satu tempat, maka akan terjadi peningkatan suplai tenaga di daaerah tersebut. Peningkatan suplai tenaga berarti membuka kemungkinan untuk mengurangi kesenjangan tenaga yang terjadi, kejadian ini disebut sebagai distribusi dinamis. Sedangkan distribusi statis berarti masalah ketidakseimbangan distribusi tetap terjadi, walaupun berbagai faktor yang “berhubungan” dengan pergerakan distribusi telah berubah, misalnya produksi (Zurn, et al. 2002).
Melalui pemahaman dinamika distribusi tersebut, maka perlu dipikirkan untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan konteks tertentu. Kebijakan yang tersedia saat ini bersifat generik untuk semua kualitas distribusi. Belum dipertimbangkan adanya daerah statis dan dinamis. Pada daerah dengan situasi distribusi dinamis, maka kebijakan penambahan insentif material menjadi sangat efektif. Tetapi pada daerah dengan distribusi statis, maka diperlukan kebijakan yang berbeda. Kebijakan untuk mengirimkan tenaga kesehatan sebagai kelompok (bukan individual), menyediakan fasilitas minimal, serta menetapkan standar ketenagaan untuk setiap tingkat institusi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting untuk menyempurnakan kebijakan yang ada.

Pentingnya Konteks Kebijakan
Distribusi tenaga kesehatan tidak hanya berbicara mengenai deployment saja, tetapi juga berbicara tentang masalah kesinambungan pasokan tenaga, lama tinggal, pengembangan profesi dan karir tenaga kesehatan beserta keluarganya.
Pengertian keseimbangan distribusi sumber daya manusia dari pandangan ekonomi, menurut Roy et al. (1996), adalah penyebaran ketrampilan sumber daya manusia sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, sehingga terjadi keseimbangan supply dengan demand.
Maldistribusi ketrampilan terjadi bila jumlah sumber daya manusia dengan ketrampilan tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan atau melebihi kebutuhan. Pasar tenaga kerja, dalam hal kebutuhan dan suplai, bersifat dinamis serta fluktuatif sesuai perjalanan waktu, sehingga keseimbangan juga ditentukan pada kurun waktu tertentu. Kekurangan atau kelebihan adalah hasil dari disequilibrium antara demand dan supply sumber daya manusia. Pengertian keseimbangan distribusi tenaga (sumber daya manusia) menurut batasan non ekonomi adalah kesesuaian jumlah tenaga dengan parameter normatif tertentu (Feldstein, 1999). Dalam kasus dokter spesialis, maka pengertian ini diartikan sebagai kesesuaian jumlah tenaga dokter spesialis di suatu daerah dengan standar yang telah ditetapkan. Standar yang berlaku dapat berupa rasio dokter dengan jumlah penduduk, jumlah dokter di rumah sakit, dan sebagainya (Zurn et al.2002).
DTPK merupakan daerah yang sangat rawan karena menjadi daerah yang tidak diminati oleh tenaga dokter. Kesempatan untuk bekerja sesuai dengan standar profesi sangat kurang mengingat fasilitas yang sangat terbatas di daerah-daerah tersebut. Bagi tenaga kesehatan non dokter, mungkin DTPK merupakan daerah yang menarik karena tidak ada hirarki pelayanan yang harus ditaati. Namun demikian kemampuan mereka untuk bekerja di daerah tersebut masih kurang jika harus menggantikan peran tenaga dokter dalam memberian pelayanan kepada masyarakat. Pada sisi lain, rasio jumlah tenaga kesehatan dengan penduduk masih jauh dari ideal, rasio rumah sakit dengan jumlah penduduk juga masih sangat kurang. Situasi ini menyebabkan persoalan distrbusi tenaga dokter menjadi sangat rumit.
Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 156/Menkes/SK/2010, Permenkes Nomor 1231/MENKES/PER/2007 dan Permenkes Nomor 1235/MENKES/PER/2007 untuk mengatasi masalah distribusi di Indonesia. Namun kebijakan-kebijakan tersebut bersifat generik dan menggunakan pendekatan motivasional yang kurang tepat. Tidak ada identifikasi mengenai kualitas daerah yang dituju untuk penempatan tenaga dokter. Dokter yang baru lulus akan ditempatkan di daerah yang sangat minim fasilitas dan SDM pendukung lainnya. Akibatnya angka intention to leave menjadi sangat tinggi di kalangan dokter muda yang bekerja di pedalaman. Selanjutnya evaluasi mengenai penempatan tersebut dilakukan secara tertutup dan kurang mendidik. Pada sisi motivasional, diperlukan pemahaman terhadap keselarasan motivasi kerja, karakteristik organisasi dan psikografi dokter masing-masing.
Pemberian insentif nampaknya juga menjadi tidak diminati oleh karena fasilitas kerja yang minimal. Tenaga dokter tidak ingin kehilangan skills dan clinical sensenya jika terlalu lama berdiam di tempat pelayanan yang minim infrastruktur. Oleh sebab itu, dorongan untuk bekerja di DTPK harus diikuti dengan kebijakan untuk mengembangkan alat, prosedur, pembiayaan , obat-obatan , dan ketersediaan tim, yang menjadi sarana bekerja tenaga dokter. Diharapkan pula ada kebijakan untuk Continuing Medical Education secara jarak jauh.

Rekomendasi Kebijakan
1.   Mengembangkan kebijakan penempatan tenaga dokter di DTPK yang sesuai dengan konteks di lapangan
a.       Mengidentifikasi variasi kualitas distribusi di setiap daerah DTPK
b.      Mengukur kualitas distribusi di daerah DTPK
2.   Mengembangkan kebijakan standarisasi jenis, kualitas dan jumlah tenaga kesehatan di institusi pelayanan kesehatan yang berada di DTPK.
3.   Mengembangkan kebijakan pengiriman tenaga kesehatan berbasis sistim profesional. Diharapkan tidak ada pengiriman dengan kontrak perorangan.
4.    Mengembangkan kebijakan terkait dengan kecocokan antara organisasi pelayanan kesehatan, dengan kompetensi dokter dan dengan variasi kasus yang terjadi.
5.    Mengembangkan kebijakan yang terkait dengan reward and punishment, mekanisme kontrak, dan pengembangan karir. Kebijakan ini berhubungan erat dengan isu untuk menjaga, terutama dari sisi retensi dan lama tinggal (length of stay).

Sumber : Kesehatan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar