Jumat, 11 Februari 2011

KEBIJAKAN OBAT YANG TIDAK BERPIHAK PADA PASIEN

Pro dan kontra mengenai obat generik selalu menjadi isu menarik di bidang kesehatan. Tidak diketahui siapa yang mendengungkan, tetapi sebagian masyarakat dan bahkan dokter sudah terlanjur menganggap bahwa obat generik adalah obat untuk orang miskin. Peresepan obat generik dianggap tidak bergengsi, murah, diragukan kemanfaatannya, dan kandungan zat aktifnya di bawah standar. Harga obat generik yang murah juga tidak jarang dijadikan alasan untuk penolakan. Mana mungkin obat yang murah member khasiat yang setara dengan obat yang
mahal? Fenomena tersebut menunjukkan ada yang salah dalam menjelaskan apa itu obat generik.
Distorsi informasi mengenai obat generic juga diperparah oleh kurang konsistennya
pemerintah dalam menerapkan kebijakan obat generik. Bahkan pada setiap pergantian kabinet isu generik biasanya hanya terdengar sehari dua hari dan setelah itu mati. Berbagai kebijakan yang dituangkan dalam SK Menkes seolah-olah tidak berdaya ketika berhadapan dengan realita di lapangan. Para dokter tetap meresepkan obat merek dagang, duta-duta farmasi tetap berkeliaran menyodorkan obat produk perusahaan, dan masyarakat lebih memilih untuk tidak diresepkan obat generik. Entah apa yang keliru, tetapi kebijakan obat generik tampaknya akan
selalu menemui jalan buntu juga upaya yang sistematik dan komprehensif tidak dilaksanakan secara intens oleh berbagai pemangku kepentingan.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa obat generik adalah obat copy. Ketika suatu industri farmasi mengembangkan obat baru maka yang bersangkutan memiliki hak paten selama 15 hingga 20 tahun untuk memasarkan obat produknya tanpa diusik industri farmasi lainnya. Obat yang memiliki hak paten ini lazim disebut sebagai obat originator. Setelah masa paten terlewati maka industri farmasi yang lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama persis dengan obat originatornya. Inilah yang selanjutnya yang disebut obat copy atau obat generik. Jika obat copy ini diberi nama maka disebut sebagai obat merek dagang. Sedangkan obat copy yang tidak diberi nama biasanya disebut obat generik. Apabila obat generik diberi logo
perusahaan obat maka disebut obat generik berlogo. Jadi, yang disebut sebagai obat merek dagang dan obat generik berlogo pada dasarnya adalah obat generik. Tidak yang berbeda dalam
hal kandungan zat aktifnya.
Pertanyaanya, mengapa harga obat generik murah sedangkan obat originator sangat mahal? Tentu mudah dijawab, karena industri farmasi yang memproduksi obat originator harus mengeluarkan biaya yang teramat besar untuk riset, antara lain uji pra klinik in vitro dan in vivo, uji pada hewan coba, maupun uji klinik pada umumnya melibatkan ratusan hingga ribuan subyek. Tidak demikian halnya dengan industri farmasi yang memproduksi obat copy. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk riset sebagaimana obat originator. Yang diperlukan hanyalah uji ketersediaan hayati dan uji bioequivalensi sebagai syarat untuk registrasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Produsen obat merek dagang juga tidak perlu melakukan uji klinik, sehingga, biaya produksi obat merek dagang tidaklah berbeda dengan obat generik.
Ketika membahas soal obat, banyak hal yang aneh dan permasalahan yang terjadi di negeri ini. Harga obat merek dagang bisa sama mahalnya dengan obat produk originatornya. Harga obat merek dagang bahkan 50-80 kali lebih mahal daripada obat generik. Padahal bahan aktifnya sama persis, kandungannya juga sama dan sebangun. Tapi, siapa yang peduli? Rakyat tidak berdaya, sementara wakil rakyat lebih memikirkan politik dan diri sendiri. Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki energi untuk mengatasi masalah ini.
Kusutnya masalah obat di negara ini semakin tidak dapat dipahami. Pemerintah hanya mampu mengeluarkan Permenkes tentang harga obat generik, yang direvisi setiap tahun, tapi tak bernyali menghadapi raksasa kecil bernama industri farmasi. Obat generik hanya bertaring di puskesmas, tapi tidak bergigi di pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, apalagi swasta. Dengan dalih harga yang terlalu murah, ketersediaan obat generik di banyak daerah juga sering langka. Herannya, industri farmasi yang memproduksi obat negerik yang sama justru menyodorkan obat merek dagang produk mereka yang harganya 3 kali lipat lebih mahal dari obat generik. Wajar, karena harga tersebut masih dalam rentang yang dibolehkan untuk pengadaan obat di pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya, kabupaten yang anggaran obatnya kecil hanya bisa membeli obat dalam jumlah sedikit. Rentetannya, sebagai puskesmas terpaksa memberikan obat ke pasien
hanya untuk 2-3 hari pengobatan. Rakyatpun gigi jari, penyakitpun tidak mau pergi.

Lalu Bagaimana dengan Dokter?
Mengapa mayoritas dokter lebih senang meresepkan obat merek dagang? Bukan rahasia lagi, ada insentif tak kasat mata di balik peresepan obat merek dagang dan akomodasi gratis hotel berbintang lima untuk menghadiri seminar atau kongres yang didanai industri farmasi. Rasionalisasinya adalah dokter perlu menambah ilmu sesuai UU Praktek Kedokteran no 29 tahun 2004. Kelompok dokter inilah yang sering berujar kepada pasien bahwa kalau ingin cepat sembuh jangan minum obat generik.
Dokter yang secara tegas menyangsikan mutu obat generik jumlahnya juga tidak sedikit. Siapa yang berani menjamin mutu obat generik? Kalau pasien tidak sembuh setelah minum obat generik, apa ada yang berani menanggung? Sementara pemerintah sendiri dianggap tidak transparan soal produsen yang nakal yang sebetulnya belum 100% memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik/COPB (current Good Manufacturing Practice/cGMP). Jadi tidak salah kita menyebut masalah obat, dokter, industri farmasi, dan pemerintah sebagai lingkaran setan (circulus vitiosus).
Akan halnya industri farmasi, sangatlah mudah menciptakan peluang. Duta-duta farmasi sebagai garda terdepan sangatlah intens, sabar, dan tak kenal lelah merayu dokter meresepkan produk mereka. Militansi mereka tak lagi diragukan. Indikator sukses mereka adalah berapa jumlah resep yang ditulis oleh dokter yang loyal. Masyarakat sendiri terpolarisasi secara acak mengenai obat generik ini. Jika dulu kelompok sosio ekonomi menengah dan atas merasa alergi terhadap obat generik, akhir-akhir ini pun masyarakat miskin sudah terpapar secara sistematik dengan istilah obat generik adalah obat yang tidak menyembuhkan. Beginilah nasib obat generik. Di kota tidak dipercaya di daerah pelosok mulai terpojok. Pijakan obat generik yang selama ini sangat kokoh di puskesmas, mulai goyah, gontai dan tidak sedikit yang terseok-seok. Masalah mendasar lain yang tidak kalah penting adalah bahan baku obat. Sekitar 96% bahan baku obat di negara ini merupakan bahan baku impor, yang sangat rentan terhadap fluktuasi dolar. Jika regangan nilai tukar rupiah terhadap dolar seperti karet, hentakan kenaikan obat pasti tak dapat terelakkan juga.

Rekomendasi Kebijakan
            Sulit memang tapi bukan berarti tidak ada solusi. Kebijakan obat harus disusun secara lebih komprehensif. Industri farmasi yang tidak lagi memproduksi obat generik dengan alasan minim profit perlu diberikan teguran dan peringatan untuk efek jera. Kalau perlu pengajuan registrasi mereka untuk obat berikutnya disuspensi. Pemerintah juga terus perlu mendorong pemberlakuan managed care secara nasional. Hanya lembaga asuransi berskala besar seperti Askes yang memiliki posisi tawar sangat tangguh dalam memperoleh obat dengan harga yang masih cukup masuk akal.
IDI juga harus mengambil peran sentral untuk mengingatkan kepada para dokter bahwa salah satu area kompetensi dokter adalah moral, etika dan medikolegal. Artinya, jika setiap kehadiran di seminar dan kongres selalu mengandalkan dibiayai industri farmasi, apakah pantas? (untuk hal ini kembali kepada hati nurani masing-masing dokter). Jika di Malaysia semua dokter
pemerintah wajib menuliskan resep dalam bentuk nama generik, mengapa hal itu sulit dilakukan di negara ini. Tidak harus sama, tetapi jangan semua resep selalu ditulis dalam merek dagang. Pemerintah juga tidak boleh membiarkan industri farmasi yang belum COPB 100%. Karena melindungi industri farmasi nakal seperti ini akan selalu member image obat generik sebagai obat yang mutunya rendah.
Terakhir, diseminasi informasi yang seimbang, terbuka, dan lugas harus selalu didengungkan ke masyarakat bahwa obat generik memiliki mutu yang sama dengan obat merek dagang. Seperti di Amerika akses masyarakat perlu dibuka untuk mengetahui mutu obat yang ada. Biarlah masyarakat sendiri yang menilai, industri farmasi mana yang  menghasilkan obat yang patut dikonsumsi karena terbukti mutunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar